Sudah bukan barang asing lagi baik bagi masyarakat maupun para pekerja media mengetahui bahwa praktik jurnalisme di negeri ini hanyalah dipenuhi oleh berita-berita sensasi yang menghebohkan, kriminalisme yang semakin menghawatirkan dan perpecahan antara beberapa kelompok masyarakat. Berita-berita tersebut setiap harinya menghiasi layar kaca di tengah ruang keluarga, membentuk sebuah realita dimana seakan-akan dunia merupakan tempat yang sangat kejam. Pertikaian antara komunitas tertentu yang menamakan dirinya berasal dari agama atau ras tertentu juga menjadi hidangan yang tidak luput dari konsumsi masyarakat kita setiap harinya. Faktanya, jurnalisme yang saat ini sering dipraktikan oleh media kita adalah jurnalisme perang. Sesuai dengan namanya, jurnalisme ini kerap menabuh genderang perang bagi kedua pihak yang sedang bertikai. Ada pihak yang dimenangkan, ada pula pihak yang dipojokan sesuai dengan kepemilikan media tersebut. Masyarakat selalu dibuat bingung terhadap fakta-fakta yang dipaparkan oleh masing-masing media. Mereka semua berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan liputan yang sering tidak berimbang.
Kita membutuhkan sebuah praktik jurnalisme yang tidak melulu tunduk terhadap sensasi demi mengejar emas yang disebut dengan rating. Kita butuh praktik jurnalisme yang benar-benar membela kepentingan publik. Sebuah jurnalisme yang dinamakan dengan jurnalisme damai. Jurnalisme damai lahir tidak semata-semata untuk menghilangkan fakta bahwa ada pertikaian yang terjadi namum justru sebagai sebuah conflict resolution, mencari jalan keluar dari sebuah konflik yang berkepanjangan. Ah, jurnalisme damai? Mana mungkin bisa benar-benar hadir di tengah masyarakat kita? Apa ada media yang bisa mengkhususkan diri untuk mempraktikan idealisme itu?
Jujur memang ide mengenai jurnalisme damai sangatlah utopis, hanyalah sebuah khayalan belaka di tengah-tengah sistem ekonomi kapitalis seperti sekarang ini. Namun, bersyukurlah dengan hadirnya Kompasiana di tengah-tengah kita, ternyata hal itu bukan lah impian belaka. Karena Kompasiana dengan pasukan jurnalis warga kompasianer dibelakangnya, mampu berubah wujud menjadi sebuah counter-hegemony bagi eksistensi media mainstream di Indonesia. Para Kompasianer bisa mempraktikan sebuah jurnalisme yang terfokus pada penyelesaian konflik, berorientasi pada kebenaran dan ditujukan untuk kepentingan khalayak luas. Bukan tidak mungkin, pada akhirnya nanti justru Kompasiana menjadi semacam sebuah TV publik yang menyiarkan hal-hal yang hanya publik dirasa pantas untuk tahu. Jadi, bukan semua hal diberitakan kepada publik yang nantinya justru memberikan dampak negatif dan malah menyesatkan. Saya yakin, masa depan praktik jurnalistik di tanah air kita ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh kegiatan teman-teman semua disini. Sekarang eranya social media dimana semua media menjadi bersifat sosial. “Sosial” adalah sebuah media baru. Mari manfaatkan media baru ini sebagai titik keemasan praktik jurnalistik di republik yang kita cintai ini.
Tulisan ini didedikasikan untuk seseorang yang telah memberiku inspirasi tentang indahnya seni Jurnalistik, Cindy Silviana.