[caption id="attachment_129664" align="alignleft" width="470" caption="MENGGEMBLENG RAGA. Pengkot Porlasi (Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia) Surabaya habis-habisan menggembleng raga dan teknik para atletnya. Kebijakan ini demi mempertahankan emas layar yang direbutnya dalam PON 2008 di Kaltim untuk Kontingen Jatim. (Dok. Porlasi Surabaya)"][/caption]
KONSEP penyelenggaaan Pekan Olahraga Nasional (PON) telah mengalami pergeseran dari tujuan awal penyelenggaraan pesta olahraga multi-even tersebut. Pesta olahraga empat tahunan itu tak lagi menjadi arena seleksi pemain potensial untuk pembentukan kontingen merah putih, yang ditargetkan turun dalam pesta olahraga SEA Games, Asian Games dan Olimpiade pada dua hingga empat tahun kemudian. Namun telh bergeser menjadi arena olahraga persaingan daerah memperebutkan citra daerah. "Bukti terjadinya pergeseran konsep penyelenggaraab PON pada saat ini, dapat dilihat dari cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan dalam PON 2012 mendatang dan beberapa PON sebelumnya. Mayoritas cabor yang dipertandingkan bukan cabor yang dipertandingkan di pesta olahraga internasonal," kata pengamat olahraga, Prof. Suryanto saat ditemui di rumahnya, di Sidoarjo. Pergeseran konsep penyelenggaraan PON itu, menurut Guru Besar di Universitas Airlangga, Surabaya, ini, perubahan ini seharusnya disadari oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat sebagai induk organisasi pembinaan olahraga nasional. Sehingga segera mengambil kebijakan untuk mengembalikan
kitho PON pada konsep awalnya, sebagai arena seleksi pemain potensial untuk pembentukan kontingen merah putih, yang ditargetkan turun dalam pesta olahraga SEA Games, Asian Games dan Olimpiade pada dua hingga empat tahun kemudian. PON saat pertama kali digelar pada tahn 1941 hingga PON II, dikatakan, konsepnya merupakan arena untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Atmosfer penyelenggaaan lebih bernuansa politis. Ini karena penyeleggaraan dua PON tersebut berlangsung di masa-masa perjuangan, sehingga para pejuang kemerdekaan dan Pemerintah Indonesia memanfaatkan segala strategi untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Salah satunya dengan memanfaatkan arena PON itu sebagai wadah pemersatu. Konsep penyelenggaraan PON pertama kali mengalami perubahan, saat Presiden RI I Ir. Soekarno memanggil lembaga olahraga terkait penyelenggaraan PON III pada tahun 1951, di Istana Negara Jakarta. Saat itu, Proklamator Kemerdekaan RI itu menegaskan, bahwa sejak PON III konsep penyelenggaraannya wajib diubah. PON tak lagi sekadar sebagai wadah pemersatu bangsa, tapi dikembangkan sebagai arena penemuan atlet potensial untuk berebut prestasi dalam pesta olahraga di level internasional. Karena itu, cabor yang dipertandingkan diwajibkan bertolok ukur pada cabor Olimpiade. Targetnya agar atlet yang berprestasi di PON dapat dimanfaatkan Indonesia, untuk berebut prestasi dalam pesta olahraga multi-even internasional dan kejuaraan internasional, sehingga citra bangsa dan negara Indonesia dapat dikibarkan di peta olahraga Internasional. Target sasaran penyelenggaraan PON, ditambahkan, kian ditegaskan saat Presiden RI II H. Soeharto membuka PON VII/ 1969 di Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya. Saat itu , Bapak Pembangunan Indonesia itu menegaskan dan mewajibkan, bahwa KONI Pusat, para Pengurus Besar/ Pusat Cabor dan KONI Provinsi berkomitmen agar penyelenggaraan PON yang dibiayai APBN dan APBD itu bukan sebagai arena persaingan antar daerah. Namun sebagai wadah untuk membangun sebuah kontigen merah putih yang tangguh dan pilih tanding dalam peta persaingan olahraga di arena SEA Games, Asian Games dan Olimpiade. Karena itu, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto itu, pemerintah diwajibkan untuk melibatkan diri dalam penyelenggaraan PON. Diawali dengan membentuk sebuah tim yang berfungsi sebagai pengarah dan pengawas sepak terjang KONI Pusat dan Panitia Besar (PB) PON VII untuk menetapkan cabor yang wajib dipertandingkan dalam PON 1969. Dengan adanya tim pengarah dari pemerintah itu, maka KONI Pusat dan PB PON bersikap sportif. Cabor yang dipertandingkan pun lebih berwawasan nasional. Itu dibuktikan dengan predikat juara umum PON Surabaya yang tidak diboyong oleh Kontingen Jawa Timur. "Konsep penyelenggaraan PON berwawasan nasional untuk bersaing di tingkat internasional itu, ternyata tak mampu dipertahankan KONI Pusat. Konsepnya berubah daerahisme. Berpihak pada daerah tuan rumah dan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan," ujar Suryanto dengan senyum sinis.
KEMBALI KE ARTIKEL