Ironisnya proses hukum atas kasus kebakaran tersebut seakan berjalan ditempat. Satu-satunya hasil penyelidikan Kepolisian Tanjung Perak, Surabaya, hanyalah penetapan tersangka yang mencapai tujuh orang. Saat pengumuman pertama, 12 Oktober, disebutkan jumlah tersangka sebanyak lima orang meliputi kru kapal, operator kapal, dan oknum instansi pengawas yang bertugas di pelabuhan saat insiden kebakaran terjadi.
Sedangkan pada 17 Oktober, Polres Tanjung Perak mengumumkan penetapan nakhoda dan mualim KM Kirana IX sebagai tersangka atas terjadinya kebakaran. Nakhoda bernama Supono Widodo dan Mualim I bernama Tajudin dianggap paling bertanggung jawab atas musibah itu. Mereka juga dianggap paling bertanggung jawab atas terbakarnya truk Fuso dengan nopol B-9231-TDA itu.
Sementara hasil investigasi Tim Labfor Mabes Polri Cabang Surabaya dan Reskrim Polda Jatim menyebutkan, kebakaran Kapal Motor (KM) Kirana IX berasal dari dek kapal, bukan dari truk. Menurut Wakapolda Jatim Brigjen Pol Eddi Sumantri, kebakaran yang menewaskan delapan penumpang KM Kirana IXI ini disebabkan percikan api dari dek plafon kapal. Itu membuktikan, bahwa Kirana IX tidak laik layar.
Keputusan polisi menetapkan nakhoda dan mualim I KM. Kirana IX sebagai tersangka disesalkan pihak PT. DLU. Demikian pula kesimpulan polisi, bahwa KM. Kirana IX tidak laik layar. Meski tetap menghormati keputusan polisi, tapi PT. DLU menganggap keputusan polisi tidak tepat.
"Alasan lalai dan tidak bertanggung jawab tidak bisa dibebankan kepada nahkoda dan mualim I karena kapal masih berada di dermaga dan belum berlayar. Dasar hukumnya UU nomor 17 tahun 2008 Bab VIII yang mengatur soal keselamatan dan keamanan pelayaran," kata kuasa hukum PT DLU, Muhammad Tahir.
Dalam bab tersebut dipaparkan, bahwa sebelum ada clearance atau sebelum mendapatkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), kewenangan masih berada pada penyelenggara pelabuhan seperti syahbandar, otoritas pelabuhan atau polisi. Sehingga sebelum ada SPB, nakhoda belum diberikan tanggung jawab oleh Syahbandar. Dan, nakhoda memang tidak lalai karena tanggung jawab memang berada tidak pada dia.
"Saat itu nakhoda sama sekali belum menerima SPB. Belum ada peralihan wewenang dari syahbandar ke nakhoda. Jadi kalau terjadi apa-apa masih merupakan tanggung jawab penyelenggara pelabuhan," tambah Tahir.
Sedangkan Muhammad Wahyudin, salah satu kuasa hukum lainnya, mengatakan, mualim I juga tidak bisa disalahkan dengan alasan lalai. Menurut dia, yang mempunyai kewenangan terhadap muatan barang adalah syahbandar. Dalam kapasitas sebagai otoritas pelabuhan, syahbandar memiliki wewenang menurunkan sebuah truk yang kelebihan muatan atau memuat barang berbahaya. Polisi juga memiliki kewenangan saat truk yang dinilai berpotensi masalah masih berada di areal parkir dermaga untuk antre masuk kapal.
"Alasan polisi soal kapal tidak laik layar juga tak tepat. Yang berhak menentukan laik layarnya kapal adalah Dirjen Perhubungan Laut, bukan polisi. Jika Kirana IX tidak laik layar, mengapa kapal itu bisa berlayar kemana-mana," tambah Wahyudin.
LANGGAR UU