"Memburuknya situasi pangan dan gizi di kamp-kamp pengungsian sangatlah mengkhawatirkan. Melalui semua ini, komunitas donor mendukung Rohingya, kita sekarang dapat memperoleh peningkatan ini dan juga menambahkan beras yang diperkaya secara lokal ke dalam paket bantuan pangan WFP," kata WFP, dikutip Reuters.
Saat ini ada hampir satu juta penduduk Rohingya tinggal di kamp bambu dan plastik di distrik perbatasan Cox's Bazar di Bangladesh. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari tindakan keras militer Myanmar pada tahun 2017.
Tahun lalu PBB memotong bantuan pangan kepada para pengungsi sebesar sepertiganya menjadi US$8 per bulan. Kebijakan itu diambil karena dana yang terkumpul gagal mencapai target di angka US$876 juta. Dana yang terkumpul bahkan tak sampai setengahnya.
Survei terbaru WFP menunjukkan bahwa kasus malnutrisi di kamp-kamp Rohingya di Bangladesh berada pada titik tertinggi sejak tahun 2017. Jumlahnya bahkan melebihi ambang batas darurat di angka 15% berdasarkan standar WHO.
"Pemotongan jatah makan tahun lalu berdampak besar pada pengungsi Rohingya dan merupakan penyebab utama kekurangan gizi di kalangan anak-anak yang tinggal di kamp-kamp tersebut," kata Mohammed Mizanur Rahman, komisaris bantuan dan repatriasi pengungsi Bangladesh di Cox's Bazar.
WFP juga mencatat bahwa pada tahun 2023 ada banyak warga Rohingya yang meninggalkan Bangladesh untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Mereka tetap tidak memilih untuk kembali ke Myanmar karena situasinya akan semakin sulit.
Hingga 30 November 2023, 3.468 warga Rohingya melakukan perjalanan perahu yang berisiko pada tahun lalu, hampir setengah dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Indonesia dan Malaysia menjadi destinasi favorit.
WFP melaporkan bahwa saat ini masih ada kesenjangan pendanaan sebesar US$61 juta untuk menaikkan jatah bantuan menjadi US$12,5 per orang setiap bulannya.