Teh pahit dan teh manis bisa dipakai pegangan betapa pentingnya memahami budaya setiap suku bangsa.
SEORANG kawan sebutlah namanya Noto, orang Semarang, orang Jawa asli, suatu saat pulang dari Jakarta mampir ke rumah kenalannyaa, orang Sunda yang tinggal di Kuningan Jawa Barat. Ketika kembali ke Semarang, dia agak jengkel. “Temanku itu bagaimana ya, pelit, kok aku hanya disuguhi teh pahit, memang penganannya banyak, manis-manis. Tapi, ya mbok kasihtéh manis,” ujarnya
Mendengar keluhannya, saya yang saat itu masih kuliah di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, menyadari kawan saya tersebut tidak memahami kebiasaan orang Sunda kalau minum teh. Orang Sunda umumnya minum teh pahit, begitu juga kalau mereka menyuguhi tamu. Teman minum teh biasanya penganan yang manis-manis, wajit, gula merah dan sebagainya.
Ketika saya jelaskan soal itu kawan saya tadi manggut-manggut dan mengerti. Dia pun menyadari kekeliruannya, telah berprasangka buruk. Sebenarnya kalau kawannya mengetahui kebiasaan orang Jawa jika minum teh, pasti menyuguhi diadengan teh manis, bukan teh pahit. Dua-duanya sama-sama belum tahu bahwa dalam hal minum teh pun antara orang Sunda dan orang Jawa berbeda.
Saya juga sewaktu kuliah kerja nyata (KKN) di pedalaman Grobogan pernah mengalami persoalan yang cukup pelik dalam hal urusan minum teh. Kalau bertandang ke rumah warga saya selalu disuguhi minum teh manis, karena tidak biasa saya menjadi panas dalam. Untuk mencegahnya saya tidak mau lagi minum teh yang disuguhkan warga. Akibatnya, Pa Carik mengatakan bahwa warga menjadi tersinggung.
Saya terkejut. Saya sadar saya seharusnya menjelaskan terlebih dahulu alasan saya tidak minum teh manis. Saya memberi penjelasan pada Pa Carik tentang hal itu. Pa Carik manggut-manggut, dia mengerti. Saya pun kalau berkunjung ke rumah warga, kalau ditawari minum saya meminta teh pahit. Warga mulanya melongo, merasa aneh mendengar permintaan saya.
Saya jelaskan,saya orang Sunda dan tidak terbiasa dengan teh manis. Warga pun mengerti. Dengan memberi penjelasan tentang perbedaan kebiasaan minum teh antara orang Jawa dan orang Sunda, kesalahpahaman bisa teratasi. Saya bisa menyatu dengan warga dan program KKN bisa berjalan, kawan saya tadi tidak mencap lagi kenalannya pelit karena menyuguhi teh pahit.
Mengingat negara kita dibentuk banyak etnik atau suku bangsa, maka menjadi keharusan memahami setiap budaya suku bangsa tersebut. Pemerintah pusat pun jangan memandang enteng tentang budaya suku bangsa yang berbeda-beda itu. Bhineka Tunggal Ika seharusnya benar-benar dipahami. Persoalan teh pahit dan teh manis tadi perlu menjadi contoh tentang pentingnya memahami budaya setiap suku bangsa.***