Korupsi disebabkan salah satunya adalah lemahnya penegakan hukum. Menurut Lawrence Friedman, lemahnya penegakan hukum ini disebabkan tiga komponen yaitu struktur institusi penegakan hukum tidak efektif, budaya tidak mendukung dan substansi dari hukum itu sendiri tidak tersampaikan. Pendapat lain dari LSI menyatakan bahwa lemahnya penegakan hukum ini bisa disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat, politisi korup, pembiaran pada kekerasan dan ketidak konsistensi-an pemimpin.
Bagaimana cara memberantas korupsi pun sebenarnya sudah diteliti, dipelajari dan dilakukan secara intensif oleh banyak pihak. Mulai dari pemberian remunerasi yang lebih baik (Becker and Stigler, 1974) hingga melakukan tindakan pengawasan dan audit secara intensif (Di Tella, 2009). Di Indonesia sendiri dengan adanya KPK, revitalisasi lembaga hukum dan edukasi masyarakat sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda pemberantasan korupsi yang semakin baik. Namun disisi lain masih ada juga anggapan bahwa pemberantasan korupsi sulit untuk dilakukan (Svensson, 2005).
Dengan realita Indonesia seperti saat ini, maka tidak salah juga kalau ada yang berpendapat bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya bangsa (Fisman & Miguel, 2006). Kalau sudah menjadi bagian budaya apalagi budaya bangsa. Maka korupsi bukan lagi persoalan yang kompleks, tapi sangat kompleks. Peran korupsi tidak hanya pada faktor stabilitas politik (Campante et al, 2009) tapi menjadi multidimensi, otomatis berdampak pada ekonomi, hukum dan seluruh aspek sistem sosial kemasyarakatan.
Dengan kompleksitas korupsi yang sudah menyentuh aspek budaya, maka memberantasnya akan semakin sulit. Budaya terkadang sulit dipahami, bisa berubah dengan sangat cepat, misalnya masuknya budaya konsumtif, namun bisa jadi sangat sulit berubah, misalnya budaya antri dan kerja keras. Terkadang budaya yang 'buruk' sangat mudah diterima, sementara budaya yang 'baik' sulit diterima.
Saya pernah mendengar cerita mengenai pemeriksa di sebuah perusahaan, waktu itu budaya pemeriksa adalah sebagai polisionil, yang memeriksa ketidaksesuaian prosedur perusahaan berdasarkan ceklist. Namun seiring perubahan perusahaan, budaya pemeriksa harus berubah dari pemeriksa polisionil menjadi pemeriksa sebagai mitra. Mana yang lebih baik antara pemeriksa sebagai mitra atau pemeriksa polisionil masih bisa diperdebatkan. Namun bisa dipastikan pemeriksa yang berhasil adalah pemeriksa yang mengerti betul budaya di perusahaannya.
Kesimpulan
Melihat kondisi Indonesia seperti ini, saya melihat yang bisa menyelesaikan masalah korupsi dan penegakan hukum adalah kita sendiri. Kita dalam pengertian orang-orang yang mengerti dengan budaya Indonesia, orang-orang yang mendengar dan menempatkan budaya Indonesia dengan baik.
Referensi
- Transparency International, Corruption Perception Index, 2013 (107/175)
- LSI, Survey Kepuasan Masyarakat Terhadap Hukum, 2013 (56,06%)
- Fisman and Miguel, Cultures of corruption: evidence from diplomatic parking tickes, 2006 (24/146)
- Becker and Stigler, Law enforcement, malfeasance and compensation of enforcer, 1974
- Campante et al, Instability and the incentives for corruption, 2009
- Jakob Svensson, Eight Questions about Corruption, 2005
- Di Tella, The Role of Wages and Auditing during a crackdown on corruption in the city of buenos aires, 2000