Maka ini kemudian menjadi kewenangan DJP untuk menjelaskan kepada masyarakat luas. Memang, dalam definisinya pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam kalimat yang dicetak tebal di atas jelas bahwa hasil dari pembayaran pajak kita adalah bukan diperuntukkan untuk kita -secara personal. Akan tetapi hasil tersebut bisa dinikmati secara bersama-sama. Seperti misalnya pembangunan gedung pelayanan publik, jalan raya, dsb. Jadi bila ada pertanyaan, "apa untungnya membayar pajak?" Jawabannya, kita hanya akan dianggap sebagai Wajib Pajak Patuh (hak hak hak...)
Kalau pertanyaannya adalah tentang uang negara yang dimakan oleh pegawai pajak, tentu ungkapan ini kurang tepat. Karena sebenarnya yang dimakan oleh pegawai pajak tersebut bukanlah "uang negara", melainkan "uang yang seharusnya milik negara". Lah sami mawon!
Melihat kejadiannya secara kronologis mungkin benar apa yang ditulis oleh Kompasianer hari ini (masuk HL) bahwa adanya kasus suap ini adalah tidak lepas dari polah tingkah dan tingkah laku Wajib Pajak sendiri. Misalnya saja, karena tidak pernah membayar pajak, lalu setelah dilakukan penghitungan, pokok yang seharusnya dibayar ditambah dengan sanksi -dan sebagainya- maka diperolehlah angka yang luar biasa fantastis. Logikanya, kalau membayar yang menjadi kewajibannya saja tidak mau, apalagi ini: membayar kewajiban plus denda?
Maka ditempuhlah "jalan tengah". Diminta-lah kepada pegawai pajak tersebut untuk "merevisi" laporan pajak Wajib Pajak tersebut. Sehingga, yang seharusnya dibayar 100%, cukup dibayar 30% saja. Dan sebagai ucapan terima-kasih dikirimlah sebuah "kardus indomi" ke rumah...
Lalu kenapa praktek yang sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun Gajah ini baru terendus (sebagian) sekarang? Jawabannya karena mereka (pegawai pajak) ternyata punya "kewenangan" merahasiakan hubungan mereka dengan Wajib Pajak.
Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 pasal 34 ayat (1) tertulis setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam penjelasan ayat disebutkan setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain: