Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial

Ketua Umum MI Lampung: Tapera tidak pernah menjadi solusi

10 Juli 2024   14:56 Diperbarui: 10 Juli 2024   14:56 154 1
Pendahuluan
Tabungan Perumahan Rakyat yang disebut disebut dengan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Tabungan Perumahan Rakyat, 2020). Tapera dikelolah oleh Badan Pengelolah TAPERA yang selanjutnya akan diawasi oleh OJK. Komite Tapera sendiri akan bertugas dalam dalam merumuskan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolahan Tapera.
Tapera dibuat dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan untuk rumah. Hal ini didasarkan dari tingginya rumah yang ada dikota-kota besar seperti Jabodetabek, Jogja, dan kota lainnya.

 
Kenaikan ini tidak dibarengi dengan angka daya beli Masyarakat yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah pribadi dan adanya rumah fenomena ini didorong dengan sektor keuangan yang diperkirakan akan menjadi lebih lesu dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemulihan pasca-pandemi, konflik Russia-Ukraina, sampai Konflik di kawasan Timur-Tengah mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Ketidakpastian ekonomi ini mendorong setiap pihak untuk menukarkan rupiah mereka dengan dolar AS untuk menjaga aset mereka. Hasilnya nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar AS karena tingginya permintaan pasar dan banyaknya uang rupiah yang beredar.

Tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar US pada akhirnya juga memberatkan APBN Indonesia dalam melakukan rasionalisasi pada kas APBN Melansir Katadata, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pelemahan rupiah akan berdampak terhadap peningkatan belanja negara seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Dengan adanya kenaikan dolar US akan membebankan ekonomi nasional. Berdasarkan indikator makroekonomi pada APBN pelemahan rupiah Rp100 per dolar AS dapat mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp10,2 triliun, termasuk untuk tambahan pembayaran bunga utang dan subsidi. Di saat yang bersamaan, kondisi ini juga mendorong peningkatan penerimaan negara sebesar Rp4 triliun sehingga dampak terhadap tambahan defisit APBN mencapai Rp6,2 triliun. Dengan rata-rata nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga 14 Juni 2024 berkisar pada posisi Rp15.859 per dolar AS, maka terdapat kenaikan belanja negara sebesar Rp53,3 triliun (Erlina F. Santika, 2024a).
Dengan masalah ini, Bank Sentral BI mengambil kebijakan untuk menaikan suku bunga Bank untuk mengendalikan laju inflasi dan menahan kenaikan dolar US. Terhitung pada April 2024 sudah mencapai 6.25% dan merupakan yang tertinggi dari 8 tahun terakhir. Dengan tingginya suku bunga ini jelas adanya permasalahan dibidang kredit dan juga likuiditas. Masyarakat Indonesia menghadapi ancaman serius terhadap kelesuan ekonomi dan juga pelemahan sektor-sektor komuditas, hal ini bedasarkan asumsi jika suku bunga tinggi maka pengusaha akan dibebankan untuk membayar bunga kredit yang jauh lebih besar dan akan memperberat para pengusaha untuk mengekspansi bisnis mereka pada skenario awal. Tapi pada skenario terburuk para pengusaha akan melakukan PHK untuk meringankan biaya pengeluaran didalam ketidakpastian ekonomi untuk menjaga keuangan tiap perusahaan (Halifah Anggie Safie Luhfiana, 2022).

Lesunya Ekonomi Nasional
Lesunya ekonomi juga dibuktikan dengan adanya penurunan dibidang lain seperti jual-beli otomotif sampai pada Maret 2024. Volume jual-beli kendaraan di Indonesia anjlok 16,83% dibandingkan pada Maret 2023 (year-on-year/yoy) yang mencapai 101.272 unit. Sedangkan, pada maret 2024 jumlah kendaraan mobil yang masuk ke pasar domestik hanya sekedar 74.724 (Nabilah Muhamad, 2024).





Dengan lesunya ekonomi nasional seperti saat ini, maka menjalankan Tapera membutuhkan pertimbangan yang lebih dalam lagi. Bedasarkan PP Nomor 25 tahun 2020 seluruh pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dengan besaran Simpanan yang diwajibkan 3% dengan sebesar 0,5% ditanggung perusahaan dan 2,5% diwajibkan kepada pekerja. Mekanisme kepersetaan Tapera sendiri yang didapatkan diberikan kepada pekerja yang berpenghasilan bersih maksimal Rp8 juta perbulan, belum memiliki rumah, dan memiliki keanggotaan minimal 12 bulan dan hanya diperuntukan untuk perumahan KPR. Untuk peserta Tapera yang tidak memenuhi syarat akan tetap diwajibkan dengan dana akan ditumpuk oleh pengelolah Tapera yang akan diputar pada manager investasi yang akan ditampung instrumen investasi deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah. Hal ini diharapkan juga mampu untuk menahan laju inflasi dan mengotrol suku bunga acuan yang akan digunakan dalam kredit. Secara mekanisme maka bisa dikatakan konsep Tapera mampu untuk menahan laju inflasi dan membantu meringankan beban ekonomi. Tapi, menjadi permasalahan apakah program ini tepat sasaran atau tidak.

Tapera dan Problematikanya
Tapera didahului oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (BAPERTARUM-PNS) yang didasarkan Keppres no. 14 Tahun 1993 dan ditetapkan pada tanggal 15 Februari 1993. Pada awalnya, tugas BAPERTARUN-PNS adalah mengemban tugas untuk membantu membiayai usaha-usaha peningkatan kesejahteraan PNS dalam bidang perumahan baik PNS Pusat maupun Daerah dengan melakukan pemotongan dari gaji masing-masing PNS dan mengelola Tabungan perumahan PNS tersebut. Program inilah yang menjadi cikal-bakal adanya tapera dengan diterbikan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang selanjutnya mekanismenya diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang penyelanggaraan Tapera. Tapera adalah program yang secara sederhana adalah sistem menabung yang wajib dengan pemerintah sebagai sentral dalam mengatur keuangan para peserta. Problem utama dari program ini adalah tumpeng tindihnya dengan program-program lainnya, bedasarkan Permenaker no 19 tahun 2015 Jaminan Hari Tua (JHT) memiliki kesempatan untuk dicairkan sebelum 56 tahun yang bisa digunakan untuk kepemilikan rumah yang diberikan mencakup 30% ataupun sudah ada potongan lain seperti pajak penghasilan pasal 21 atau yang disebut dengan PPh 21 yang merupakan potongan sekitar 15% untuk pekerja. Hal ini jelas akan memberatkan pekerja khususnya yang bekerja masih bekerja dalam kisaran UMR karena potongaan yang hampir 20% dengan fungsional yang masih tumpang tindih dalam menjalakannya (BBC, 2022).
 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun