Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Rekomendasi Tim Delapan Dan Keputusan Presiden

15 November 2009   01:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 1106 0

Sebagaimana kita ketahui bahwa presiden telah membentuk Tim delapan yang bertugas untuk mencari fakta dalam kasus Bibit-Chandra. Tim mulai melaksanakan tugasnya sejak tanggal 2 November 2009 dan diberi waktu selama dua minggu untuk melaksanakan tugasnya. Tim akan menyerahkan rekomendasi Senin pekan depan. Tim pencari fakta tersebut mempunyai hak untuk mendapat informasi apapun terkait proses hukum yang membelit kedua wakil ketua KPK non aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah

 

 Tim diketuai praktisi hukum senior yang juga anggota Wantimpres, Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua Koesparmono Irsan (purn Polri), Sekertaris Denny Indrayana, staf khusus presiden, dengan anggota Todung Mulya Lubis, praktisi hukum, Rektor Uiversitas Paramadina Anies Baswedan, Guru Besar UI, Prof.Hikmahanto Juwana, Rektor UII Prof Komaruddin Hidayat, dan Amir Syamsuddin, pengacara.

 

Tim Delapan telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah nama yang disebut dalam rekaman hasil penyadapan KPK terhadap Anggodo Widjoyo, adik  tersangka korupsi Anggoro Widjaja, yaitu Kepala (nonaktif ) Bareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji, dua wakil ketua (nonaktif) KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah; saksi Ary Muladi, mantan Jamintel Kejaksaan Agung Wisnu Subroto, Wakil Jaksa Agung (nonaktif) Abdul Hakim  Ritonga, beberapa penyidik kepolisian, dan mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

 

Tim Delapan sudah mengeluarkan rekomendasi sementara mengenai kasus Bibit dan Chandra pada Selasa lalu. Dalam kesimpulan sementaranya, tim menilai sangkaan penyuapan yang menjerat Bibit dan Chandra tidak memiliki cukup bukti untuk diteruskan. Tim juga menilai polisi terlalu memaksakan diri mengusut dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan kedua pimpinan KPK nonaktif itu.  Bibit dan Chandra ditetapkan menjadi tersangka oleh Polri dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan suap. Mereka diduga telah menyalahgunakan kewenangannya saat mencekal pimpinan PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal bos PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra. Selain itu keduanya juga disangka menerima suap dari Anggoro Widjojo.

 

Anggota Tim Delapan, Denny Indrayana mengatakan bahwa rekomendasi yang akan disampaikan kepada presiden itu terbagi dua yaitu rekomendasi khusus dan umum. Rekomendasi khusus, yaitu penyelesaian kasus Bibit dan Chandra, sedangkan perbaikan kinerja institusi penegak hukum masuk dalam rekomendasi umum.. Dalam rekomendasi umum, Tim Delapan juga akan menyinggung mengenai pemberantasan mafia hukum di Indonesia. "Karena itu terkait dan sejalan dengan program 100 hari Presiden SBY," kata Denny, Jumat (13/11). Selain itu, rekomendasi akhir juga akan menyinggung  masalah reformasi birokrasi di tubuh Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

 

Nah, apabila rekomendasi  sudah diserahkan kepada presiden, akan timbul pertanyaan, terus bagaimana, begitu bukan?. Rekomendasi tim delapan nampaknya memiliki perbedaan dengan pimpinan Polri. Tim mengatakan sementara, sangkaan suap terhadap Bibit dan Chandra tidak memiliki cukup bukti untuk diteruskan. Ini berarti tim akan menyarankan agar kasus dihentikan kepolisian lewat surat perintah penghentian penyidikan (SP3), atau Kejaksaan Agung mengeluarkan surat penghentian penuntutan, dan kemungkinan lain , menyarankan  Presiden menggunakan wewenangnya, meminta agar proses kasus tersebut dihentikan demi hukum.

 

Keputusan tersebut nampaknya akan berat dilaksanakan oleh Polri, karena seperti dikatakan Kapolri saat dengar pendapat dengan Komisi-3 DPR, menyebutkan bahwa bukti-bukti sudah lengkap dan agar dibuktikan saja nanti di pengadilan. Sementara pimpinan KPK menyatakan akan menerima apapun keputusan dan saran Tim Delapan, KPK akan menyerahkan masyarakat yang menilai, dan siap menerima apapun konsekuensinya.

 

Yang lebih berat lagi adalah implementasi dari rekomendasi tim tentang masalah reformasi birokrasi ditubuh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Yang paling sulit nampaknya apabila dilakukan reformasi atau reposisi Polri. UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara mengatur segala sesuatu tentang Polri. Kedudukan  Kapolri berada dibawah Presiden, yang banyak diartikan setingkat menteri. Perbedaannya menteri adalah jabatan politis sedang Kapolri adalah jabatan operasional, jadi Kapolri tidak bisa merumuskan kebijakan politis (B.Widodo,2007). Dipisahkannya organisasi Polri dari TNI (1999) yang kemudian juga tertuang dalam UUD 1945 setelah diamandemen, ternyata menimbulkan beberapa persoalan.

 

Polri saat ini merupakan instansi (aparat) negara yang paling bebas dan praktis tidak dibawah kendali siapapun. Hubungan komando operasional antar Presiden dan Kapolri tidak banyak berpengaruh dari segi kebijakan, mengingat Presiden bukan merupakan institusi yang dalam kenyataannya menentukan arah kebijakan (anggaran, postur, strategi penyelenggaraan fungsi) kepolisian negara. Oleh karena itu bentuk pertanggungan jawab Kapolri kepada Presiden (dan DPR) praktis hanya terjadi saat penunjukannya (dan pemberhentiannya) sebagai Kapolri (Kusnanto Anggoro,2009).

 

Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri pada upacara HUT Brimob di Kelapa Dua pada Sabtu (14/11) meminta seluruh jajaran Polri bekerja maksimal membenahi citra Polri yang sedang turun di bidang penegakan hukum. “Citra harga diri dan kehormatan Polri sedang diuji oleh publik yang cenderung menyangsikan profesionalitas Polri dalam melaksanakan tugasnya.Khususnya dalam penegakan hukum” kata BHD. Kapolri meminta seluruh jajaran tetap tegar menghadapi cobaan yang menerpa dan tetap menjaga semangat sebagai pengayom masyarakat.

 

Nah, nampaknya masalah yang melibatkan beberapa institusi hukum dan masyarakat tersebut belum akan bisa selesai dalam waktu dekat ini. Kasus Bibit-Chandra mungkin bisa diselesaikan, akan tetapi apakah Polri juga hanya akan diam saja. Bahkan beberapa mantan pejabatnya yang pernah bertugas di KPK menyatakan secara terbuka di media massa, indikasi adanya ketidak beresan di internal KPK, bahkan menyebut nama Chandra Hamzah. Perang pernyataan akan sulit dihentikan, karena sudah menyangkut kredibilitas dan gengsi yang jelas merugikan masing-masing fihak.

 

Masalah yang paling panjang dan akan memakan enersi  adalah tuntutan publik terhadap reformasi dan reposisi Polri, yang nampaknya akan direkomendasikan juga oleh Tim Delapan. Kalau ini akan dilaksanakan, DPR harus merubah perundang-undangan yang berlaku, dan menempatkan Polri di bawah sebuah departemen pemerintah. Jelas jalan ini akan menjadi jalan panjang dan berliku. Dengan demikian jalan terangnya adalah keputusan tegas Presiden, mengikuti saran tim delapan. Pertama, memilih membebaskan Bibit-Chandra, atau mempercepat proses pengadilan keduanya. Alternatif kedua nampaknya lebih rawan, yang pertama nampaknya lebih aman bagi pemerintah dan stabilitas keamanan.

 

Kedua, membuat pernyataan, akan meninjau kedudukan dan melaksanakan lanjutan reformasi Polri, Kejagung dan KPK bersama-sama DPR. Selanjutnya melakukan “tour of duty” dan “tour of area” di tubuh Polri dan Kejagung. Ketiga, menekankan kepada Kapolri, Kepala Kejaksaan Agung dan Pimpinan KPK agar membatasi diri, tidak membuat pernyataan politis secara terbuka. Berbicara lebih bijaksana dan lebih arif. Toh, ketiga pejabat di institusi tersebut memang sesungguhnya bukan jabatan politis, artinya kini jangan terpancing dan mempolitisasi dirinya sendiri. Setiap pernyataan keras sehebat apapun yang mereka buat tidak akan bisa menolong, bahkan justru akan merugikan diri sendiri. Kini yang menilai adalah masyarakat yang pada dasarnya adalah pemilik kedaulatan di negara ini. Yang perlu diingat, tidak ada satu kekuatan dimanapun di dunia ini yang akan sanggup melawan rakyat. Begitu bukan?

 

PRAYITNO RAMELAN

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun