Berita penyergapan kelompok teroris di Aceh Besar menjadi berita yang menarik dan menguasai media, khususnya media elektronik di negeri ini. Dua TV yang gencar dahulu mendahului berita hingga ke medan operasi Densus 88 adalah Metro TV dan TV One. Presenternya demikian piawai memberitakan setiap gerak operasi dan perkembangan situasi, mereka bak perangko, lengket terus menempel ke polisi. Penulis selama ini terus mengikuti perkembangan gerak teroris, yang yang selama ini menyelam, mendadak muncul kepermukaan, menarik perhatian, khususnya setelah tewasnya kelompok Noordin M Top, Syaefuddin Zuhri dan Syahrir. Mendadak salah seorang staf TV One Jumat sore (12/3) menelpon penulis, meminta menjadi nara sumber dalam acara Apa Kabar Indonesia. Setelah Adrian, nama staf TV One menjelaskan bahwa hari Sabtu adalah acara resensi buku yang berkait dengan terorisme, penulis akhirnya pada Sabtu pagi tadi sekitar pukul 08.00 menjadi nara sumber bersama Mas Wawan H. Purwanto, pengamat intelijen yang terkenal itu. Beberapa hal yang dibicarakan adalah operasi Densus-88 di Aceh dan Pamulang, asal sumber dana teroris, perkembangan gerakan teroris, dan kemudian membahas buku penulis yang berjudul Intelijen Bertawaf, serta dua buku yang ditulis Mas Wawan, yang berjudul Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi CS sertaTerorisme Undercover. Mengamati Aceh yang dijadikan basis teroris, Kapolri menjelaskan bahwa teroris yang diidentifikasi dari Jamaah Islamiyah (JI) akan menggunakan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai tempat pelatihan kelompok teroris di Indonesia. Kegiatan tersebut dilakukan sejak Februari 2010 lalu hingga kemudian terbongkar karena laporan masyarakat tentang adanya latihan dengan menggunakan senjata di wilayah Aceh Besar, tepatnya di Pegunungan Jalin Jantho. Pada operasi tersebut, tiga anggota Polri, yaitu Brigadir Anumerta Boas Woisiri, Brigadir Anumerta Darmansyah, dan Brigadir Anumerta Srihendra Kusuma Malau, tewas tertembak. Total tersangka teroris yang berhasil ditangkap serta yang tewas berjumlah 30 orang. Di antaranya adalah Sapta Adi bin Robert Bakri alias Ismet Hakiki alias Syaelendra,40, terlibat dalam aksi bom di Kedubes Australia 2004. Tersangka merupakan lulusan asal Pandeglang, Banten, dan merupakan lulusan Mindanao,Filipina. Selain juga Yudi Zulfahri alias Bara, 27, warga Aceh Besar yang merupakan pemuda asal Aceh pertama yang direkrut dan mengikuti pelatihan, Zaki Rahmatullah alias Abu Jahid asal Pandeglang, Masykur Rahmat bin Mahmud,21, asal Aceh Jaya, Surya alias Abu Semak Belukar (Aceh); Azam alias Imanudin (Aceh); Heru, tersangka dari Lampung dan Muchtar asal Tanah Abang, Jakarta Pusat. Polisi menangkap Agus Kasdianto alias Hasan alias Nasim (Depok), Deni Suhendra alias Faris (Karawang), Adi Munadi (Bandung), Laode Afif alias Adit alias Abu Hazwa (Rawamangun), Deni Sulaiman alias Sule (Lampung), Adam alias Ade (Pandeglang), Sofyan Tsauri (Depok) diidentifikasi sebagai pemasok senjata. Selain itu ditangkap juga Sutrisno, Tatan, Abdi, Iwan Suka Abdullah yang tewas dalam penggerebekan di Aceh Besar dan Marzuki alias Tengku yang juga ditemukan tewas tertembak asal Aceh. Polri menyita sembilan pucuk senjata api terdiri dari tiga M16, senapan laras panjang AK 56 dan AK58, AK 47 pistol FN dan revolver, granat asap, belasan ribu peluru atau amunisi dari berbagai kaliber untuk AK dan M16. Pada hari Jumat (12/3) polisi berhasil menyergap 10 orang teroris di Leupueng, Kecamatan Leupueng, Kabupaten Aceh Besar. Saat dilakukan sweeping 2 teroris mencoba melarikan diri dan akhirnya tewas ditembak, diketahui bernama Encang Kurnia alias Jajang asal Bandung dan Pura Sudarma alias Muttaqin asal Lampung. Sedang delapan lainnya adalah Mahfud, Yunus, Gema, Ibnu Sina, Abu Baro, Ade Munadi, Hendra dan Taufik. Dalam penyergapan tersebut dapat disita 2 pucuk AK-47, 3 pucuk M-16 dan pistol Glock milik Anggota Polri yang tewas saat penyergapan di gunung Jalin Jantho. Dari pengembangan di Aceh, anggota Polri berhasil melakukan penyergapan kelompok teroris di Ruko Multiplus Pamulang yang kemudian diketahui adalah "Ikan besar" Dulmatin alias Mansyur, alias Joko Pitono, tokoh yang , menghilang sejak bom Bali-1. Dulmatin adalah salah satu tokoh teroris yang paling berpengaruh di wilayah Asia Tenggara, bahkan pemerintah AS memasang hadian US$ 10 juta (Rp93 Miliar). Pengembangan operasi dilebarkan dan Densus berhasil menembak mati dua pengawal Dulmatin yang bernama Ridwan dan Hasan dirumah Mantri Fauzi di Gang Asem Pamulang. Selain itu, polisi berhasil menangkap hiduphidup dua pengawal Dulmatin lainnya, yakni BR alias AH serta SB. Itulah sebagian informasi dasar yang melatar belakangi talk show di TV One. Penulis menjelaskan bahwa sebuah organisasi kecil teroris struktur organisasinya sederhana, terdiri dari pimpinan, kader aktif, pendukung aktif, pendukung pasif dan simpatisan. Untuk infrastrukturnya adalah elemen taktis/militer, elemen pendukung, elemen politik dan elemen pelatihan. Sesuai penjelasan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Ito Sumardi, bahwa mayoritas mereka itu pernah berjuang di Moro, Filipina Selatan. ”Itu kan mantan-mantan sukarelawan di Filipina,mereka dilatih di Afghanistan,” tegasnya. Dari beberapa perkembangan informasi intelijen tersebut, nampak para tokoh kelompok teroris sepeninggalnya Noordin M Top, mencoba membangun kembali jaringan yang telah tercerai berai. Mereka nampaknya dikendalikan Dulmatin sebagai elemen Komando yang mencari dana serta senjata. Elemen pelatihan
(training unit) yang dibangun oleh beberapa alumnus Afghanistan dan Mindanau seperti Encang dan Pura Sudarma. Perekrutan dilakukan dibeberapa tempat dan akhirnya diputuskan di Aceh. Menurut penjelasan Kapolri, mereka baru mulai membangun kamp latihan pada bulan Februari 2010, membeli persenjataan dan amunisi, serta mendanai kegiatan militer karena sudah mendapatkan aliran dana senilai Rp500 juta. Semuanya dikendalikan oleh Dulmatin dari Pamulang. Dari hasil operasi, nampaknya baik pendukung aktif maupun pendukung pasif belum berhasil membangun jaringan infrastruktur di Aceh. Upaya desepsi kelompok yang menggunakan mobil dan dapat disergap di Leupueng menunjukkan bahwa mereka terkena
unsur pendadakan dari Polri , khususnya Densus-88. Mereka tidak siap saat harus
escape dan memutuskan memilih berpindah tempat melalui jalan raya. Sesuai dengan gerakan gerilya, maka kerawanan kelompok tersebut dengan mudah dieksploitir oleh aparat keamanan. Ini menunjukkan bahwa kelompok yang akan dibentuk salah memperhitungkan medan operasi. Mereka memperkirakan setelah berhasil merekrut beberapa orang Aceh akan dengan mudah langsung bergabung dengan mantan GAM. Pernyataan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf telah jelas. "Ini tidak ada kaitannya dengan GAM sama sekali. Karena ada GAM di Aceh, mereka mengira mudah berlindung di balik GAM. Mereka keliru, GAM dan Polri justru saling berkoordinasi untuk menghadapi mereka," kata Irwandi. Berbagai senjata yang digunakan teroris tersebut bisa masuk ke Indonesia disebabkan masih lemahnya pengawasan di beberapa titik sepanjang pantai Aceh. "Panjang pantai Aceh ada 18.000 km. Di mana pun ada titik lemah, jadi senjata bisa masuk," katanya. Selain itu, masuknya teroris ke Aceh memang lebih mudah karena mereka Islam. "Mereka bisa membaur dengan masyarakat sekitar," tambah Irwandi. Dengan demikian, nampaknya kelompok teroris yang mencoba membangun basis dengan mencontoh kamp di Mindanau akan sulit untuk direalisasikan di Indonesia. Ada beberapa tokoh besar yang masih belum jelas keberadaannya seperti Zulkarnaen dan Umar Patek. Ruang gerak yang dimiliki hanya di Indonesia, karena polisi dan militer Philipina terus melakukan penggempuran basis mereka di Philipina Selatan. Penulis menyampaikan bahwa pemberantasan teroris sebaiknya dilakukan dengan melakukan Strategi militer, strategi politik dan budaya. Mereka yang terlibat, membantu teror akan terus dikejar, diburu. Sistem politik sebaiknya ditata ulang, dalam menghadapi teror harus ada konsensus nasional, elit politik harus bersatu padu, dan masalah teror bukan hanya tanggung jawab polisi semata. Pelibatan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu segera dilakukan agar masyarakat tidak terjerumus dalam pengaruh ideologi terorisme. Penulis pada
talk show tersebut juga menjelaskan juga bahwa intelijen sebaiknya bertawaf, yaitu melakukan gerak yang teratur dan terstruktur dalam menghadapi kelompok teroris. Demikian informasi dan analisa yang melatar belakangi talk show dalam program Apa Kabar Indonesia. Terima kasih kepada pimpinan TV One yang telah mengundang penulis dalam acara
sharing dipagi ini. Semoga apa yang penulis sampaikan ada manfaatnya bagi para pembaca sekalian. Sebagai penutup penulis mengucapkan selamat kepada Kapolri, Kabareskrim dan Kadensus atas keberhasilan yang cukup spektakuler dalam beberapa waktu terakhir ini khususnya dalam penanganan tindak terorisme. Bravo Polri. PRAYITNO RAMELAN. Penulis Buku Intelijen Bertawaf.
KEMBALI KE ARTIKEL