Suatu siang di Parangtritis, matahari panas menyengat menembus kaos lengan panjangku. Anginnya kencang, cukup kencang untuk menerbangkan pasir hingga saya harus menyipitkan kedua mata saya agar tidak kemasukan pasir itu. Sepintas saya merasa seperti ada di tengah badai pasir di sebuah gurun yang panas dan tandus, hanya saja di depan saya laut, bukan oase.