Ini adalah artikel terakhir saya di Kompasiana, saya tidak akan pernah lagi menulis artikel di Kompasiana seumur hidup saya, dan saya berharap admin Kompasiana dapat menghapus artikel saya ini, serta membekukan dan menghapus akun Kompasiana saya karena sudah lebih dari 5 kali melanggar ketentuan Kompasiana !
Terima kasih atas perhatiannya !
- - - - - - - - - - - - - - - -
Bagaimana kualitas jurdil pada pilpres 2019 ? Jawabannya dapat dilihat sbb :
1. Azas Netralitas Pejabat Publik
Sudahkah pejabat publik (menteri, gubernur, bupati/walikota, camat, kades) bersikap netral di dalam pilpres 2019 ? Menurut hasil penelitian saya, ada ketimpangan yang sangat besar antara jumlah dukungan pejabat publik kepada Jokowi dan Prabowo.
Bisa dilihat adakah gubernur, bupati/walikota, camat, atau kades yang mendukung Prabowo pada pilpres 2019 kali ini ? Mungkin saja ada, tetapi jumlahnya paling banyak hanya 4 atau 5 orang saja, namun itu pun hanya terbatas pada pribadi sendiri atau tidak sampai digembor-gemborkan kepada publik. Sementara di pihak Jokowi sangat banyak menteri dan gubernur beserta bawahannya berbondong-bondong mendukung Jokowi, bahkan sampai mengkampanyekan Jokowi kepada masyarakat.
Di sini ada pelanggaran azas netralitas pejabat publik, yang mana seharusnya pejabat publik harus netral, namun ternyata bisa berbondong-bondong mendukung capres tertentu. Apalagi sampai ada perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah pejabat publik yang mendukung Jokowi dibandingkan Prabowo.
2. Azas penegakan hukum yang adil bagi semua pihak.
Dapat dilihat ada kades dan pegawai PNS yang mendukung Prabowo dipenjarakan dan diberhentikan dari jabatannya. Lalu di posisi yang sama, mengapa kades, camat, dan banyak pejabat publik yang mendukung Jokowi tidak dipenjarakan dan diberhentikan dari jabatannya ?
Apakah penegakan hukum hanya berlaku bagi para pendukung Prabowo, sementara para pendukung Jokowi bisa bebas dari penegakan hukum ? Kalau ada kades pendukung Prabowo bisa dipenjarakan, sudah seharusnya kades pendukung Jokowi juga harus dipenjarakan agar ada keadilan hukum bagi semua pihak tanpa diskriminasi.
3. Azas larangan penggunaan fasilitas negara untuk berkampanye
Petahana dengan segala fasilitas yang dimilikinya dapat mengeluarkan kebijakan populis dalam rangka mengkampanyekan dirinya, seperti menaikkan gaji PNS jelang pemilu. Di samping itu, petahana juga bisa mengundang kades se-Indonesia utk hadir di istana jelang pemilu guna mensosialisasikan hasil kerja dan prestasinya.
Memang secara aturan tidak ada yang melarang petahana utk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, tetapi secara etika hal ini menjadi tidak adil bagi lawan dari sang petahana karena dapat diibaratkan 2 orang yang saling bertarung, yang satu hanya pakai tangan kosong sedangkan yang satu pakai pedang, jadi tidak berimbang dan adil pertarungan antara kedua orang tersebut bukan ?
4. Azas netralitas media massa
Memang rata-rata media massa masih dapat menjaga netralitasnya, tetapi ada beberapa media massa yang sangat tidak netral, seperti Metro TV yang secara vulgar meng-anak-emas-kan Jokowi, sementara Prabowo di-anak-tiri-kan.
Secara etika profesi, sebuah media massa walaupun memihak kepada salah satu capres juga tetap harus menjaga prinsip netralitasnya dan porsi pemberitaannya menjadi berimbang antara semua kandidat capres.
5. Azas profesionalisme penyelenggaraan pemilu yang bersih dan bebas dari kecurangan.
Apakah pemilu 2019 sudah terselenggara dengan profesional ? Jawabannya adalah belum. Terbukti dari banyaknya pelanggaran yang ada, seperti ada surat suara yg sudah tercoblos, ada petugas KPPS yg bisa mencoblos surat suara sendiri, dan ada kotak surat suara yang terbuka segelnya setelah selesai rekapitulasi suara.