Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jangan Menjadi Bangsa yang Mudah Menjatuhkan Saudaranya Sendiri

28 Mei 2012   11:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:40 322 1
Kini, galau menjadi kata yang begitu mudah disematkan seseorang pada orang lain, terutama untuk memberikan judgment pada status dan tweet di jejaring sosial. Bermula dari Twitter, penggunaan kata ‘galau’ meluas, bahkan hingga yang tidak punya Twitter atau jarang aktif di Facebook pun jadi ikut-ikutan menggunakannya. Apa definisi galau, setiap orang pasti punya gambaran sendiri-sendiri (tapi saya sangsi akan ketepatannya). Namun apakah, orang yang di-judge galau benar-benar galau? Bisa jadi gambaran pen-judge tidak sesuai kenyataan dan dia sudah salah menilai yang di-judge. Ada misjudgment disini. Jumat malam (29 Mei 2012), saat asyik bermain di Twitterland, perhatian saya tersita oleh kicauan Presiden Jancukers, Mbah Sudjiwo Tedjo. Melalui akunnya, @sudjiwotedjo, beliau menulis:

1) Blm terbiasa baca/tulis buku langsung main twitter, maka Berargumentasi disebutnya labil, menyatakan pendapat » curhat, romantis » galau 2) Feelingku 75 persen pemain twitter gak punya tradisi baca/tulis buku langsung terjun bebas ngetwit..akibatnya ya salah tankap twit terus2an 3) Padahal berpendapat dan curhat tuh beda jauuuuh…curhat itu lebih ke keluh kesah ..berpendapat lbh ke mengemukakan pandangan2 4) Setuju. Lama2 org males romantis karena entar disebut galau. Males peduli takut disebut kepo. Males mendetil takut dibilang rempong 5) Juga, lama2 generasi mendatang males berpendapat takut dikira curhat. Males mengubah2 point of view dlm debat takut dibilang labil
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun