Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

OTT, antara ISP/Operator dan Jalan Toll

11 Mei 2012   09:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:26 657 0
OTT adalah Over The Top (literally : diatasnya atas.. nah lho bingung khan? J) adalah aplikasi, video, chat,  suara dan layanan lainnya yang dapat diakses melalui Internet secara terbuka. OTT dengan cerdas menciptakan sebuah model bisnis yang dapat memanfaatkan jaringan ISP/Operator untuk mendeliver layanannya secara cuma – cuma, tanpa andil investasi sepeser pun!

Masih segar di pikiran saya saat operator berlomba-lomba mem-bundling layanan data mereka dengan layanan OTT ini. Facebookan gratis! 24 jam.. nonstop! Twitter-an ga bayar! Youtube ga buffer! dll. Semua tenggelam dalam histeria layanan OTT, facebook menjadi senjata ampuh pemasaran, twitter adalah mantra sakti yang memikat hati pengguna, youtube menjadi gengsi tersendiri bagi operator yg dapat memberikan akses tanpa buffer. Ditambah lagi dengan penetrasi smartphone dan tablet yang semakin hari semakin tinggi. Android kini bukan sebatas milik para geek. Apple kini banyak dicari untuk menaikan gengsi.

Histeria itu kini mulai menuai kontroversi. Di satu sisi, operator telah berhasil menaikkan angka penjualannya. Dengan skema tarif flat, unlimited data + bundle dengan OTT yg dpt diakses melalui aplikasi/browser, operator “sukses besar”! Pelanggan data tumbuh secara signifikan, target penjualan tembus secara mulus.

Namun di lain sisi, pendapatan tidak sejalan dengan naiknya penjualan L Lebih parahnya lagi, kapasitas jaringan ISP/operator menjadi penuh sesak oleh traffik OTT. Kualitas dan kapasitas jaringan menurun, komplain pelanggan berjibun, dan ujung-ujungnya berdampak pada turunnya kepuasan pelanggan dan tingginya Churn. Pelanggan kini tidak terasosiasi pada identitas Operator. Mereka tidak peduli lagi Operator apa yang mereka gunakan. Sering terdengar anak-anak muda jaman sekarang bertanya: Facebook lo apa? Twitter lo apa? Alamat emailmu apaan?  *ga pernah kan nanyain: lo internetan pake apa? Kalo ada pun pasti ujung2-nya ngeluh... gw pakek operator xx nih... tp leewmotnyaa minta ampuunn.. Loyalitas kini berbanding lurus dengan kualitas.

Kualitas? Bagaimana bisa operator menjamin kualitas dengan user yang semakin berjubel dan perang tarif yang semakin murah. Sedangkan Operational Cost semakin besar, investasi teknologi baru membutuhkan waktu, modal, dan energi yang tidak sedikit.

Tanpa disadari, OTT secara tidak langsung menggerus layanan traditional Operator: Voice dan Messaging, yang secara defacto masih menjadi kontributor utama pendapatan. OTT messaging seperti Gtalk, Yahoo, Facebook messanger, Skype, Whatsapp, dll.. telah mengubah kebiasaan orang dalam berkomunikasi. SMS kini tidak laku lagi. Voice sudah ketinggalan jaman.

Ibarat pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati... kemudian perlahan karam! *Na’udzubillah.. jangan sampai karam.

Bagaimana agar tidak karam?

Sedikitnya ada 3 transformasi yang dapat dilakukan oleh Operator untuk mempertahankan kelangsungan bisnis-nya.

1.Transformasi skema pricing

Skema pricing flat rate, unlimited harus ditiadakan! XL telah lebih dahulu menyadari hal ini. Mereka tidak ingin sebagian kecil pelanggannya yang rakus bandwidth menjadi beban jaringan dan memperburuk kualitas yang dirasakan oleh mayoritas pelanggannya. Pay as you get menjadi skema pricing yang dipilih oleh xl.

Ibarat jalan Tol, tarif yang diberlakukan berbanding lurus dengan jenis kendaraan yang digunakan. Tarif truk akan lebih besar daripada Honda Jazz. Tarif Honda Jazz akan lebih mahal daripada tarif yang diberlakukan kepada Bajaj.. itupun jika Bajaj diperbolehkan masuk Tol :D

Skema pricing yang sedikit lebih canggih adalah pricing berbasis Quality of Experience (QOE). Kita mengetahui bahwa user experience merupakan muara yang dirasakan pengguna dalam mengakses layanan internet. Setiap layanan memiliki karakteristik yang unik.

Ibarat jalan Tol masa depan, tarif diberlakukan berdasarkan jenis kendaraan dan pentingnya perjalanan. Mari kita bayangkan loket2 jalan tol yang mengklasifikasikan jalur berdasarkan kuailtas, kapasitas dan kepentingan perjalanan. Semakin besar kendaraan dan semakin penting perjalanan, semakin mahal tarif yang diberlakukan. Tarif Bus yang menuju terminal kampung rambutan akan berbeda dengan tarif bus yang menuju Bandara, karena jadwal pesawat yang sangat ketat menuntut ketepatan dan kecepatan waktu perjalanan. Semakin tinggi Experience yang diinginkan, semakin tinggi tarif yang diberlakukan.

2.Transformasi model bisnis.

Model bisnis operator selama ini hanya berkonsentrasi pada pengguna akhir saja. Mereka hanya melakukan charging pada Southbound Traffic (Traffic yang berasal dari Pelanggan akhir saja). Ceruk pendapatan dari Bisnis to Bisnis dengan OTT (Northbound Traffic) belum digarap serius oleh para Operator. Padahal dari traffic antara ISP/Operator – OTT ini memiliki potensi yang tidak sedikit untuk dikembangkan.

Sedikit statistik, situs pencarian google: ketika penyajian hasil pencarian membutuhkan waktu 0.5 detik lebih lama, hal ini akan memperburuk user experience yang berdampak pada penurunan traffic ke website google sebesar 20%, otomatis pendapatan iklan pun menurun. Begitu juga facebook, twitter dan OTT lainnya. Mereka sangat berkepentingan dalam menjaga user experience layanan mereka.  Hal ini merupakan kesempatan bagi operator untuk mengajukan proposal bisnis kepada OTT untuk bekerjasama mengelola Northbound Traffic demi menjaga QOE layanan OTT.

Mari kita kembali ke Jalan Tol (lagi.. :D), para pengguna membayar ke loket jalan tol atas manfaat yang akan digunakannya. Dengan melewati jalan tol, pengguna dapat menempuh jarak dengan relatif lebih aman, lebih cepat dan bebas macet.. (kecuali tol dalam kota Jakarta... hahaha). Pernahkah terpikir oleh kita, yang merasakan manfaat jalan tol bukan hanya pengguna? Bagaimana dengan Bandara, Mall, Ancol, Taman Mini dll.. Tempat2 tersebut sangat tergantung pada jalan tol untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa Jalan Tol, Bandara tak akan dapat memenuhi jadwal ketatnya. Tanpa Jalan Tol, Mall, Ancol, Taman Mini akan sepi karena pelanggannya terjebak macet di jakarta. Seharusnya, tempat2 tersebut berbagi hasil kepada Jalan Toll atas manfaat yang diberikan.

Model bisnis seperti diatas-lah yang harus dikembangkan oleh para ISP/Operator untuk dapat merasakan keuntungan dari Northbound Traffic. Namun hal ini memerlukan regulasi yang baik dari regulator untuk dapat menjamin kepastian hukum antara ISP/Operator dengan OTT.

3.Transformasi Portfolio Bisnis.

Selama ini, ISP/Operator menjadikan Network sebagai core bisnisnya. Dengan masuknya OTT, Operator kini hanya menjadi “pipa bodoh” yang mengalirkan “air konten” dari OTT. Dengan semakin bertambahnya pelanggan dan semakin berkembangnya Handheld/Smartphone, “air konten” ini jumlahnya semakin membludak dan membanjiri “pipa” ISP/operator. Jika ingin kualitas jaringan tetap baik, dan dapat menambah pelanggan, konsekuensi logis yang perlu dilakukan adalah dengan memperbesar "pipa” yang tentunya memerlukan investasi dan energi yang tidak sedikit. ISP/Operator terjebak dalam lingkaran “Pipa Bodoh” yang membuat mereka berdarah-darah dalam menjaga kelangsungan bisnisnya.

Operator Plat Merah: Telkom, telah menyadari hal ini dan mentransformasi portfolio bisnisnya dari Telco Carrier menjadi Telco, Internet, Multimedia, Edutainment Company. Perubahan radikal ini dapat dijadikan role model oleh operator lainnya dalam mengatasi gempuran OTT yang semakin lama semakin deras melanda. Transformasi portfolio bisnis ini sekaligus mengikrarkan bahwa Telkom is transforming to smart pipe. Sedikit demi sedikit Telkom memiliki sendiri “keran konten” untuk mengairi pipanya. Konten OTT yang selama ini membanjiri kini sudah bercampur dengan konten asli dalam negeri.

Semoga keran konten dalam negeri semakin lama semakin deras, dan dapat menjadi tuan rumah dinegeri sendiri. Hidup konten dalam negeri!

/pram_

Resources:

http://www.ericsson.com/news/120118_making_money_244159020_c

http://www.telecomasia.net/content/hooking-ott-players?src=related

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun