Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Saya, PNS, dan IPDN

9 Juli 2011   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 1799 0

Tak pernah terbayangkan sedikit pun bagi saya untuk diterima menjadi seorang PNS dalam usia yang relatif muda. Walaupun sekarang masih berstatus sebagai CPNS Golongan II Ruang A namun saya masih bersyukur karena saya perhatikan banyak para pelamar tes CPNS yang harus “kasak-kusuk” dan urus “sana-sini” agar dapat diterima sebagai pelayan masyarakat (jadi pelayan aja kok repot). Dengan modal ijazah SMA dan diiringi doa oang tua saya beranikan diri untuk mengadu nasib menjadi seorang PNS dengan bertarung untuk diterima sebagai seorang praja IPDN utusan Kota Bukittinggi. Banyak cemoohan dari tetangga dan teman-teman dan menganjurkan agar simpan saja niat tersebut. Buang-buang waktu, itu kata mereka. Tidak hanya dari orang-orang terdekat cemoohan itu datang, pandangan sebelah mata juga saya terima setiap saya mengurus berkas-berkas persyaratan. Ketika saya ke Puskesmas melakukan tes kesehatan , saya ditanyai “Anda orang tuanya kerja apa?”. Saya jawab “ kedua orang tua saya guru SMP”, ditanya lagi “ada kenalan di Pemda?”, saya jawab lagi “tidak ada”. “Lho, kok kamu yakin mau mendaftar IPDN?”, saya nggak menjawab apa-apa karena saya datang ke sana ingin mengecek kesehatan bukan untuk wawancara yang gak penting seperti itu. Intinya mereka ingin saya untuk membatalkan niat untuk menjadi seorang praja, percuma. Saya hanya bisa ber-pisitive thingking saja, mungkin mereka kasian jika saya nanti bagaikan seperti “pungguk merindukan bulan”. Cemoohan mereka pun memang mempunyai alasan. Alasan saya gak ada beckingan, gak ada uang buat sogok sana-sini, intinya gak ada harapan, itulah kesimpulan mereka. Hingga sekarang pun setiap pulang cuti ke daerah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang-orang yang berpapasan dengan saya adalah “ orang tua mu kerja dimana?” atau “ di IPDN masih ada kekerasan nggak?”. Sebegitu kuatnya mind set tentang PNS dan IPDN yang telah tertanam di fikiran mereka. Saya hanya menjawab apa adanya. Tapi kebanyakan mereka berlalu dengan raut muka yang kurang percaya. Nggak apa-apalah, tidak mungkin saya marah kepada orang yang membayar pajak untuk saya, untuk kami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun