"Yuk ke seberang, dek," kataku. Anak itu melangkah di belakangku sambil bersidekap, bajunya sudah basah kuyup. "Sini, berpayung bersama kakak'" kataku. Dia mendekat dan berjalan di sampingku sampai di halte seberang. Sambil menunggu taksi favoritku, yang memang susah didapat saat hujan begini, kuajak anak itu ngobrol.
"Sudah sering jadi ojek payung begini ?"
"Iya, sering kak, tiap turun hujan.."
"Hujan-hujanan begini ga sakit ?"
"Tidak kak, sudah biasa... "
"Bisa dapat duit berapa sehari ?"
"Tergantung kak, kalau hujan mendadak seperti ini bisa dapat banyak, sampai 25 ribu.."
"Terus duitnya buat apa ?"
"Buat emak..., tadi emak sudah pesan pulangnya minta dibelikan paramex, sekalian beli gula pasir dan kopi buat bapak.."
"Masih sekolah ?"
"Sekolah kak, kelas 3 SD.."
Aku menghela nafas, teringat anak semata wayang yang juga kelas 3 SD. Jumat sore, jadwalnya sedang mengikuti les biola..
Sejenak kualihkan padanganku darinya.. kulihat jalan layang yang berdiri kokoh di depanku, jejeran iklan di sepanjang jalan; handphone 3Gs, mobil terbaru, diskon restoran, perumahan elite...., dan sederetan mobil mewah yang terjebak macet di hadapanku..
Kelahiran adalah takdir, orang tua tidak dapat dipilih... Aku mendongak, payungnya bocor... air hujan menimpa wajahku, bersatu dengan air mataku.
"Dek, terima kasih ya.. Kakak mau naik angkot itu saja," kataku. Kusisipkan uang taksiku ke tangan mungilnya, memang tidak akan banyak membantu, hanya kucoba berbela rasa denganya..
Kukejar bis kota yang menepi sambil menyisipkan doa untuknya.....