Judul: Bebas di Pengasingan
Penulis: Dalai Lama
Penerbit: Kadam Choeling
Cetakan: I, April, 2011
Tebal: v + 386
Belajar untuk memaafkan lebih bermanfaat dari pada memungut sebutir batu dan melemparkannya(hal 333)
Kutipan diatas menjelaskan bahwa kekerasan tidak harus dibalas dengan perbuatan yang sama. Pemikiran tersebut diungkapkan oleh Dalai Lama, seorang pemimpin spiritual Tibet, dalam buku Bebas di Pengasingan. Autobiografi ini ditulis oleh Dalai Lama di usia 56 tahun ketika berada di pengasingan Dharamsala, India Selatan. Buku ini ditulis secara runtut setiap kejadian yang dialami oleh Dalai Lama, mulai dari masa kecil, penobatan menjadi pemimpin, masa di pengasingan, hingga misi perdamaian.
Pesan yang ingin disampaikan dalam buku ini ada dua. Pertama, kesederhanaan hidup dan idealisme tinggi Dalai Lama. Kesederhanaan hidup terlihat pada filosofi yang dipegang Dalai Lama yakni tujuan hidup manusia adalah bahagia. Perbedaan ras, suku, agama, dan negara tidak menghalangi untuk mencapai kebahagiaan karena pada dasarnya cita-cita umat manusia sama. Nilai-nilai yang ia ajarkan adalah setiap individu tidak perlu mengubah agama dan tradisinya, yang harus diperbaiki yakni mengurangi sifat egoistik dan peningkatan kualitas diri.
Idealisme perjuangan yang dipilih Dalai Lama konsisten melalui anti-kekerasan. Pilihan ini dikritik terlalu lemah karena tidak memberikan perlawanan yang berarti. Dalai Lama sadar bahwa melawan China dengan peperangan bukan hal yang tepat sebab satu milyar penduduk China yang didukung persenjataan canggih akan dengan mudah mengalahkan enam juta rakyat Tibet. Dalai Lama memilih tindakan konstruktif yakni mencoba memahami sebab-sebab orang-orang China menguasai Tibet. Sikap pengertianiniyang dikedepankan oleh Dalai Lama.
Kedua, ada hal yang ingin diluruskan oleh Dalai Lama terutama keadaan Tibet di bawah kekuasaan China. Informasi yang dikeluarkan oleh pemerintah China tentang kondisi Tibet “baru” sekarang jauh lebih baik. Pabrik, sekolah, dan rumah sakit telah banyak berdiri. Infrastruktur tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh imigran dari China. Keadaan orang Tibet di negerinya sendiri semakin memprihatinkan. Pendidikan misalnya, akses dibuka untuk masyarakat Tibet dengan bahasa pengantar utamanya China, sementara bahasa Tibet akan dihapuskan. Anak-anak yang memiliki prestasi baik akan dipekerjakan di perusahaan Cina dengan dalih mempererat persatuan.
Bukti Sejarah
Seperti apa sebenarnya China memandang masalah Tibet? Martin Jacques dalam buku Ketika China Mengusai Dunia: Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat (Kompas, 2011) menjelaskan bahwa Tibet merupakan isu sensitif. Hal ini dibuktikan dengan kritik keras media China terhadap pemberian gelar doktor kehormatan kepada Dalai Lama dari London Metropolitan University. Isu sensitif ini dibentuk oleh kesadaran sejarah masyarakat China. Awalnya, setelah berhasil mengalahkan Dinasti Qing 1911, Sun Yat-sen memandang China dalam nasionalisme Han. Bangsa Mongol, Manchu dan Tibet dianggap minoritas. Ketiga suku ini meskipun sedikit tetapi mendiami lebih dari setengah wilayah China. Akhirnya, pemerintah kerap menghadapi pemberontakan menuntut pembebasan. Untuk meredam pemberontakan, Sun Yat-Sen kemudian merangkai nasionalisme China dalam satu ras kuning dengan lima kebangsaan antara lain Han, Manchu, Mongol, Hui, dan Tibet.
Tibet juga memiliki bukti sejarah sendiri yakni perjanjian antara Raja Tibet Trisong Dretsen dengan Kaisar China Wen Wu Hsiao-te Hwang-ti pada tahun 821-822. Isinya, keduakerajaan sepakat mematuhi dan menghormati batas wilayah yang sudah ditetapkan. Para pemimpin tersebut juga berkeinginan memperbaiki hubungan dan sikap saling menghargai. Perjanjian ini dicatat di monumen batu yang berada di depan pintu gerbang Wihara Jokhang.
Kesepakatan sejarah tersebut berakhir pada 26 Oktober 1951 ketika Tentara Pembebasan Rakyat China menguasai Lhasa (ibu kota Tibet) dengan dalih ingin menyatukan kekuatan bangsa. Dalai Lama dan para pengikutnya kemudian melarikan diri ke Dharamsala, India Selatan. Hingga saat ini, ia masih menetap di sana. Selama di pengasingan Dalai Lama justru aktif di pentas internasional dengan memberikan ceramah tentang perdamaian. Ide yang pernah diajukannya yakni lima poin rancangan perdamaian. Dalai Lama membacakan rancangan perdamaian di Capitol Hill, Amerika Serikat pada tahun 1987. Rancangan tersebut berisi antara lain (1) Tibet menjadi zona damai (2) penghentian kebijakan emigrasi penduduk China ke Tibet (3) menghormati hak-hak asasi manusia Tibet (4) perlindungan lingkungan Tibet (5) dimulainya negosiasi tulus antara Tibet dan China (hal 317).
Perjuangan Dalai Lama mendapatkan dukungan dari dunia internasional. Hal ini dibuktikan dengan dukungan Amerika. Puncaknya pada 10 Desember 1989 di Oslo, Norwegia Dalai Lama memperoleh penghargaan nobel untuk perdamaian. Di sisi lain, reaksi berbeda dikeluarkan oleh pemerintah China. Mereka justru menggangap Dalai Lama separatis dan parasit. Rancangan tersebut hanya untuk mememenuhi kepentingan Dalai Lama.
Masa Depan Tibet ?
Ekonomi China sekarang berada di nomor dua dunia setelah Amerika. China memiliki cadangan devisa sekitar 3,2 triliun dollar AS (Kompas, 6 Febuari 2012). Menurut Kishore Mahbubani dalam karya Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakan (Kompas, 2011), kemajuan ekonomi di China tidak diikuti dengan kebebasan berekspresi. Kebebasan yang dimaksud yakni hak asasi manusia (HAM), pemilihan pemimpin, dan keterbukaan informasi.
Negara Barat, seperti Amerika, Inggris, dan Prancis selalu menyinggung isu demokrasidan HAM terutama masalah Tibet. Kritikan tersebut tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah China. Martin Jacques menyatakan, tujuan utama China bukan pada demokrasi melainkan pertumbuhan ekonomi. Mandat dari rakyat dapat diperoleh apabila masyarakat terbebas dari kemiskinan dan hidup sejahtera bukan melalui pemilihan umum.
Masa depan Tibet tidak akan berubah karena China masih menganggapnya sebagai permasalahan internal. Tindakan represif yang dilakukan di Tibet merupakan kegiatan mengamankan wilayahnya dari gerakan separatis. Kritikan yang dilontarkan Barat juga setengah hati. Artinya, Barat hanya melakukan kewajiban “mengingatkan” tentang HAM di Tibet untuk menjaga image sebagai negara demokratis. Mereka tidak memiliki keinginan menginvasi China seperti yang dilakukan terhadap Irak atau Libya. Hal ini karena kepentingan ekonomi Barat dijamin oleh China.
Buku ini merupakan perjuangan dan totalitas Dalai Lama untuk terbebas dari kekuasaan China melalui pesan perdamaian. Terlebih lagi, autobiografi ini memperlihatkan rekam jejak bahwa tidak semua bangsa memiliki sejarah yang bersih termasuk China. Ketika pemerintah China menutup semua akses informasi kekerasan di Tibet, buku ini dapat menjadi perspektif lain untuk melihat realitas yang terjadi.
Catatan untuk buku ini, pertama ada penempatan logika yang tidak sesuai. Misalnya, sikap kritis Dalai Lama ketika usia empat tahun sudah dapat menilai perilaku korupsi pembimbing seniornya, yakni Reting Rinpoche. Kedua, ada istilah dalam agama Buddha seperti Madyamika dan Prajnaparamitha yang tidak disertai penjelasan. Keterangan informasi penting agar pembaca non-Buddha tidak kesulitan menerjemahkannya.
Secara keseluruhan buku ini patut dibaca masyarakat dan khususnya para pemimpin politik Indonesia karena Dalai Lama mampu terlepas dari pandangan politiknya. Umumnya, autobiografi pemimpin politik yang beredar di pasaran menceritakan keberhasilan disertai muatan politis untuk terpilih kembali.