Negara Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945, namun hingga hari ini gerakan separatis di tanah Papua tidak kunjung menemukan titik akhirnya. Pemerintah berupaya untuk meredam gerakan tersebut dengan menetapkan Papua sebagai daerah Otonomi Khusus (Otsus) sejak 1999 agar Papua memiliki hak dan kewenangan sendiri  untuk mengatur wilayahnya, namun penetapan tersebut tidak berjalan mulus di lapangan. Dalam waktu hampir 10 tahun sejak penetapannya, tidak  terjadi perbaikan pemerintahan dan pembangunan yang signifikan, sehingga rakyat Papua menjadi kecewa karenanya (Delvia Ananda dan Skolastika Genapang, 2021). Keberadaan tambang Freeport juga memicu masyarakat Papua semakin gencar melakukan gerakan separatisme, pasalnya Freeport mendirikan berbagai fasilitas modern untuk kepentingan eksploitasi pertambangan, bukan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Papua sebagai pemilik hak ulayat atas tanah, sehingga masyarakat Papua mengalami penurunan kualitas hidup tanpa adanya reparasi berkala untuk mengurangi dampak eksploitasi tambang tersebut terhadap lingkungan. Situasi ini semakin memicu Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) untuk memisahkan diri dari NKRI melalui gerakan separatisme. Ditambah lagi pada  Agustus 2019 lalu terjadi diskriminasi mahasiswa Papua di Surabaya tepatnya di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III, Jl. Kalasan, No.10 Surabaya karena tuduhan mematahkan tiang bendera dan membuang bendera merah  putih ke selokan, padahal hingga saat ini belum diketahui siapa dalang dibalik pencabutan dan pembuangan bendera tersebut. Peristiwa ini semakin mendorong ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) untuk menaikkan peristiwa tersebut kedalam berita internasional, hingga puncaknya terjadi demo berdarah di Jayapura dan Wamena pada 2019 yang menuntut penyelesaian atas peristiwa ‘rasis’ tersebut. Â
KEMBALI KE ARTIKEL