Keputusan ini tentu disambut suka cita oleh masyarakat. Karena sudah dua tahun lebih, kita dilarang untuk berpergian mengunjungi orang tua, sanak saudara dan pulang ke kampung halaman saat hari raya idul fitri. Hal tersebut terpaksa dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya gelombang kedua Covid-19.
Tetapi kondisi saat ini tidak sama dengan tahun lalu. Meskipun tetap masih ditemukan kasus harian Covid-19, jumlah kasus terinfeksi positif dalam tahap terkendali. Beberapa indikator lainnya misalnya Bed Occupancy Ratio (BOR) dan angka kesembuhan Covid-19 juga meningkat. Hal ini tentu tidak terlepas dari jumlah cakupan vaksinasi yang terus bertambah, baik vaksin pertama, kedua maupun lanjutan.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pemerintah berusaha untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga pasca mudik. Melalui surat edaran yang ditanda tangani oleh Ketua Satgas Covid-19 ini, ada sejumlah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi bagi masyarakat yang ingin melakukan perjalanan saat lebaran.
Adapun syarat yang harus dilakukan adalah sebagai berikut melaksanakan protokol kesehatan selama perjalanan misalnya memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mencuci tangan. Ketentuan lain yakni syarat sudah vaksin lanjutan maka tidak perlu menunjukkan hasil swab antigen atau PCR sementara bagi yang telah mendapatkan vaksin pertama dan kedua wajib menunjukkan hasil negatif tes antigen atau PCR.
Sepintas memang tidak ada yang aneh dari ketentuan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN). Tapi jika diperhatikan lebih seksama, ada beberapa hal yang tampaknya kurang bisa atau bahkan sulit untuk diimplementasikan. Sebagai contoh mengganti masker setiap 4 jam.
Masker adalah benteng utama dalam mencegah penularan Covid-19. Jadi tentunya wajar penggunaan masker sebaiknya yang sesuai. Agar dapat secara efektif sebagai pencegahan bukan hiasan semata.
Hanya saja aturan mengganti masker dalam secara berkala setiap 4 jam, rasanya tidak bisa dilakukan. Sederhananya masker dibeli menggunakan dana pribadi masing-masing orang. Lantas jika diharuskan melakukan penggantian tiap 4 jam maka otomatis jumlah masker yang digunakan akan meningkat. Dan tentu saja uang yang dialokasikan untuk pembelian masker meningkat.
Contoh lainnya adalah tidak diperkenankan untuk berbicara satu atau dua arah baik melalui telepon maupun secara langsung sepanjangan perjalanan menggunakan moda transportasi umum. Coba bayangkan apakah kita bisa mengatur orang tidak boleh berbicara selama perjalanan selama berjam-jam?
Tentu hal tersebut mustahil untuk dipastikan pelaksanaannya. Bagi yang menggunakan moda transportasi udara dimana semuanya lebih mudah diatur dan waktu tempuh yang relatif pendek rasanya susah untuk melarang orang untuk mengobrol. Belum lagi isu ketersinggungan bagi yang ditegur karena bercakap sesama penumpang.
Terakhir yaitu aturan dilarang makan dan minum bagi perjalanan kurang dari 2 jam. Syarat ini bisa berlaku pada saat pagi hingga sebelum maghrib. Karena banyak yang berpuasa. Tetapi bagaimana jika berpergian pada malam hari. Kembali lagi yang saya jelaskan sebelumnya, ketentuan seperti ini susah untuk benar-benar diimplementasikan di lapangan.
Sebagian ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Surat Edaran tampaknya hanya bagus untuk sebagai arsip dokumentasi tetapi sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu perlu perumusan ketentuan yang sekiranya dapat dilakukan. Hal ini dapat dicapai dengan kerja sama berbagai pihak dan lintas sektor.
Pemerintah dapat berkolaborasi dengan berbagai moda transportasi umum baik darat, laut maupun udara. Kolaborasi ini bisa berupa penyediaan fasilitas sarana prasarana dan pengawasan Standard Operating Procedure (SOP) selama perjalanan mudik.
Penyediaan fasilitas cuci tangan dan masker misalnya dapat menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi bagi seluruh moda transportasi. Contoh PT KAI dengan membagikan masker gratis bagi seluruh penumpang dapat dijadikan rujukan bagi seluruh moda angkutan umm.
Pembagian masker gratis bagi penumpang ini dapat diharapkan untuk mengganti masker secara berkala. Para penumpang tidak perlu merasa khawatir atau terbebani terkait adanya biaya tambahan untuk pembelian masker. Hal ini tentu secara tidak langsung dapat memaksimalkan penggunaan dari masker sebagai barrier utama pencegahan penularan Covid-19.
Sementara bagaimana untuk pengawasannya? Pengawasan implementasi aturan tersebut perlu kerja sama dengan berbagai instansi yang berwenang dan tentu saja pemilik moda transportasi umum.
Untuk pemantauan syarat apakah sudah divaksin atau belum dan ketentuan hasil uji swab dilakukan oleh instansi yang berwenang. Polri, dinas kesehatan dan TNI bertanggung jawab untuk pengecekan validitas kartu vaksin dan hasil swab antigen/PCR.
Sementara pengawasan implementasi akan dibebankan kepada masing-masing moda transportasi. Hal ini untuk memastikan ketentuan selama perjalanan yang sudah disusun dapat dipatuhi oleh penumpang.
Puncak mudik masih akan terjadi beberapa minggu lagi. Artinya masih ada waktu untuk menyusun teknis aturan yang lebih 'membumi' lagi. Selain akan bagus secara dokumentasi dan tentu yang paling penting syarat yang sudah disusun benar-benar bisa diimplementasikan.