Bandingkan dengan saya (laki-laki) yang pulang jam berapapun adalah sah. Entah untuk diskusi, ngobrol ngalor-ngidul, internetan di hotspot, mengikuti pembekalan tertentu, dan seterusnya. Tidak ada hambatan di sana. Laki-laki bebas menentukan kapan ia pergi, dan kapan ia pulang. Sedang perempuan, lagi-lagi aturan selalu ketat padanya.
Begitu ketatnya aturan bagi perempuan seakan memberitahukan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang rapuh-rentan dan untuk itu, harus dijaga dengan seabrek norma. Dibuatlah sangkar emas baginya. Alih-alih hidup dalam “keemasan” aktivitas/ pengalaman perempuan menjadi kian kerdil.
Sedikit dari mahasiswi yang dapat mengikuti penggodokan rencana aksi di esok hari. Bagaimana merumuskan isu taktis, isu strategis, perangkat aksi, korlap, humas, dan sebagainya. Rencana aksi, apapun isunya, seringkali minus mahasiswi. Atau di lain momen, berapa persen peserta (cewek) yang mengikuti diskusi damar atau diskusi pengurus di HMI Mulla Shadra UNISMA ? Mungkin kurang dari 5%, bukan?
Sedikit mahasiswi yang dapat keluar dari zona-hambatan-kultural itu. Bukan masalah ia mau atau tidak, namun kondisi obyektif, berupa nilai-norma masyarakat membuat mereka sulit berkutik. Hanya di momen-momen insidental lah mereka bisa bebas: tahun baru, menjenguk teman di rumah samkit, atau acara-acara tertentu. Selebihnya, mereka kembali terjebak di sangkar emas itu.
Saya sulit menemukan alasan rasional mengapa jam malam begitu ketat bagi mahasiswi? Apakah persoalan sopan-santun yang mengkerdilkan? Atau soal kemalasan induk semang membuka pintu? Atau ihwal stigma “perempuan nakal” bagi yang kelayapan malam hari? Alasan-alasan semacam itu sungguh aneh untuk diterapkan di lingkungan kampus.
Ya, aneh! Sekurang-kurangnya di sinilah perjuangan kesetaraan gender dimulai. Kampus beserta lingkungannya merupakan laboratorium terdekat yang bisa kita amati/eksperimenkan/praktekan. Sering terdengar Kampus ini UNISMA teriakan-teriakan kesetaraan gender. Dan telah kita ketahui bersama bahwa di lingkungan kampus ini ada 2 organisasi Ekstra “HMI dan PMII” yang notabene sama-sama meneriakan kesetaraan gender. Tapi tetap saja tidak ada perubahan yang berpihak kepada Mahasiswi. padahal kampus ini juga yang begitu rupa melarang diskriminasi berdasar jenis kelamin.
Saya cukup senang ketika melihat lingkungan Pasar Dinoyo ada beberapa mahasisiwi yang melek hingga larut untuk berdiskusi. Dan pernah saya bilang dalam hati, “Seandainya mahasiswi di Pasar Dinoyo ini juga di larang, maka diskriminasi sedang terjadi. Maka, harus dilawan!”. Untunglah realitas ini memberi angin segar.
Namun, ini hanya sepenggal praktek. Masalahnya, mahasiswi dalam tempo yang sama adalah anak kos yang mereka akan pulang di jam tertentu. Beruntunglah jika jam malam tak berlaku. Namun bagi kos yang berjam malam, mahasiswi-mahasiswi itu akan meringkuk, berharap ada teman yang baek membukakan pintu.
Jujur, saya ingin sekali melihat kedua organisasi mahasiswa ekstra ini “HMI dan PMII” memberikan pencerahan pada lingkungan (kos). Bahwa perempuan pergi larut malam tak harus sama dengan perempuan nakal. Apalagi jalang. Harus ada pandangan yang adil bagi laki-laki juga perempuan. Bahwa perginya laki-laki untuk apapun itu, seharusnya, sama dengan perginya perempuan untuk apapun itu.
Memang, tidak mudah meyakinkan masyarakat soal itu. Tapi perlu kiranya kita menggulirkan tatanan kebudayaan baru, dimana waktu yang semakin mampat, ruang yang semakin merapat, membuat aturan jam malam menjadi aneh di abad ini. Atau sekurang-kurangnya, tak lagi pas untuk masa kini.
Note: Tulisan ini tidak berpretensi membenarkan kunjungan laki-laki/ perempuan ke lawan jenis melampaui jam 10 malam. Apa yang diketengahkan adalah aktivitas perempuan di ruang publik, terutama saat malam hari.