Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sebuah Surat Empati Untuk Masyarakat Adat

31 Januari 2012   10:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:14 129 0
Saya seorang mahasiswa yang berasal dari salah satu dari banyak kota sibuk yang ada di Indonesia. Lahir dan dibesarkan di kota yang besar tersebut, saya menyerap bahasa, kultur,  dan cara pandang selayaknya masyarakat kota tersebut. Terlepas dari bahwa kota tersebut adalah salah satu tempat melting pot kultural terbesar yang ada di negeri ini, serta bermacamnya etnisitas dan suku yang berkumpul di satu tempat yang padat itu, tentu kita tidak bisa lupa bahwa manusia, didalam komunitas yang berbeda maupun sama, tentu memiliki perbedaan, sudut pandang maupun cara pikir. Bisa dibilang kota ini cukup menyimbolkan kami yang berada di beranda atas keburuntungan kelas sosial. Kami, disimbolkan sebagai Masyarakat Kota, pionir-pionir kemajuan dan perkembangan negara. Menyongsong modernitas, globalisasi, dan sains yang melangkah terus menuju kedepan.
Kira-kira begitulah latar belakang saya. Seorang pemuda diantara banyak pemuda penerus generasi bangsa. Pemuda dari Masyarakat Kota.

Baru-baru ini, baru setelah saya merantau keluar dari kandang saya untuk alasan edukasi lebih lanjut, saya menemukan mereka, Masyarakat Adat. Agaknya konyol, karena kemana saja saya berada? Mungkin selama ini pandangan saya tertutup dan sempit karena terus mengendok di kandang saya. Padaha mereka selalu ada selama ini di sekitar saya, namun saya tidak menyadarinya. Tidak menyadari perbedaan yang menjadi dikotomi diantara mereka dan kita. Yang telah memisahkan kita dan mereka, sama-sama Masyarakat namun menjadi berbeda.
Apa sebetulnya yang telah membuat kita dan mereka berbeda? Padahal kita sama-sama masyarakat sebuah negeri yang sama. Dengan tanah dan cuaca yang sama. “Disatukan” oleh bahasa yang sama.

Siapa sebenarnya Masyarakat Adat yang tertindas itu? Mereka adalah orang-orang yang lahir diatas tanah leluhur mereka, yang hidup diatas lahan para pendahulunya. Mereka menyongsong kehormatan kepada tanah mereka, menjaga dan merawat alam sekitarnya dengan pengetahuan yang telah diturunkan bertahun-tahun dari leluhur mereka. Hubungan mereka erat dengan alam, seerat para leluhur mereka dengan keluarganya.

Disinilah perbedaan ini tercipta. Kita Masyarakat Kota bertindak selayaknya kelas yang berkuasa, yang menggencet-gencet Masyarakat Adat diatas tanahnya. Kita mengambil lahan dan haknya, serta sumber pencaharian sehari-harinya, lalu mengambil keuntungan dari itu.
Kita, dengan segala ilmu dan pengetahuan yang kita punya, dengan segala modernitas beratas namakan sains, menyatakan bahwa mereka yang berdiri diatas Tanah Adatnya dan pengetahuannya, adalah dungu, terbelakang, primitif, serta tahayul! Sering, dengan alasan ini, kami merampas tanah-tanah mereka dari kearifannya. Dengan cara kita, kita mempercepat segalanya demi pencapaian keuntungan kapital. Memperkosa alam mereka, meraup hasil serakus-rakusnya tanpa ada timbal balik ke alamnya. Parasit yang eksploitatif.

Disini kita memang tidak bisa bilang siapa yang lebih benar, pengetahuan lokal mereka atau ilmu pengetahuan sains kita. Tentu kita tahu, sejarah membuktikan bahwa sains, seberapa objektifpun yang kita pikir, akan terus mengalami perubahan seiring penemuan ilmu yang terus berkembang. Bagian dari sifatnya yang evolusioner. Ini disebabkan karena kita berpikir akan sesuatu dengan objektif, benar, dan konkrit, karena kita hanya mampu melihat dari satu sudut pandang saja. Sampai akhirnya ada yang menemukan kecacatan pada suatu detil, lalu ada yang menemukan solusinya. Akhirnya pandangan kita yang lama akan sesuatu tersebut, menjadi sesuatu yang salah, karena dengan solusi yang baru pandangan kita berubah.

Seringnya kita sombong, menganggap cara kita yang modern dalam penanganan alam yang kita garap adalah yang paling baik. Padahal kita bisa lihat sendiri benefit dan kelangsungan dari alam tersebut. Dengan pengetahuan lokal milik Masyarakat Adat yang kita sebut tahayul itu, mereka memanfaatkan hasil dari alam namun juga menjaga kelangsungannya, karena cara mereka memperlakukan alam berhubungan dengan pengetahuan leluhur mereka yang sangat dekat dengan alam mereka. Berbeda dengan kita yang terkesan rakus untuk mengeruk keuntungan saja dan tidak memperhatikan kelangsungannya. Mungkin memang cara mereka yang pelan namun merawat adalah cara yang terbaik demi kelangsungan alam tersebut.

Melihat isu-isu yang baru-baru ini terjadi seperti Mesuji dan Sumbawa sungguh menggerakan hati saya. Tentunya, isu seperti ini tidak baru saja terjadi di Indonesia dan tidak terjadi disana saja. Mungkin hampir diseluruh pelosok Indonesia mengalami masalah yang sama, bahkan di Meksiko dan Afrikapun begitu. Namun bukankah sudah saatnya kita sebagai masyarakat yang tinggal di “atap” yang sama untuk mengeluarkan rasa empati kepada mereka? Kalau tidak cukup sebagai penghuni atap yang sama, maka berempatilah sebagai sesama manusia.

Indonesia sungguh membutuhkan rasa keterbukaan dan empati yang tinggi. Mungkin kita telah menjadi bangsa yang pelupa dan ignorant. Tapi tidak ada kata terlambat untuk hal ini. Marilah kita mulai dengan menumbuhkan rasa empati terhadap sesama kita, terutama mereka, Masyarakat Adat disana. Karena kalau tidak, sejarah akan terus terulang. Kita akan menjadi kanibal dalam sejarah kita sendiri, menghabisi mereka sampai akhirnya tidak ada lagi yang bisa kita lahap dan mati memakan diri sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun