Peristiwa tersebut mengingatkan kita, sebagai wisatawan, akan pentingnya menjaga kelestarian dan keselematan alam sekitar yang kebetulan dijadikan sebagai sebuah objek wisata. Jangan jadikan mereka objek hanya karena mereka memiliki daya tarik berupa, misalnya, pemandangan alam yang indah, hawa yang sejuk, atau hamparan pasir putih yang indah memanjakan mata.
Para sarjana yang menekuni kajian kepariwisataan seperti Dolnicar (2006) telah mewanti-wanti bahwa betapa pun akan terjadi tegangan (trade off) antara pelestarian alam/lingkungan dengan pariwisata. Tak pernah ada pariwisata yang benar-benar mampu mendulang dollar tapi pada saat yang sama melestarikan alam dan lingkungan. Memang, kita sering mendengar berbagai istilah seperti ekowisata (ecotourism), pariwisata bertanggung jawab (responsible tourism), atau pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Namun, bagaimana operasionalisasi konsep-konsep tersebut dan apakah bisa diaplikasikan dalam konteks destinasi wisata alam di mana pun, masih menjadi perdebatan. Dalam beberapa kasus, istilah-istilah tersebut juga hanya sekedar jargon marketing belaka, yang jauh dari esensi yang sebenarnya.
Kasus bagaimana pariwisata lebih bersifat merusak daripada melestarikan alam lebih sering terlihat dalam konteks wisata massal yg menjadikan alam dan lingkungan sebagai daya tarik utama. Pariwisata di kawasan Gunung Bromo, harus diakui, masuk kategori wisata massal jika kita melihat bagaimana wisata Bromo sudah sedemikian populer dengan kunjungan wisata yang mencapai lebih dari 300.000 orang pada tahun lalu.
Salam satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana dari sisi supply, yakni wisatawan sendiri, kampanye wisata bertanggung jawab dan menghargai alam bisa terus dilakukan. Dari sisi demand, pengelola objek wisata, entah itu swasta, pemerinta, atau lembaga seperti taman nasional, harus terus melakukan upaya-upaya untuk menerapkan peraturan melalui saluran interpretasi yang ada, seperti papan himbauan, papan penunjuk, papan informasi, interpretasi berbasis teknologi seperti QR code dan sejenisnya, serta adanya sebuah pusat pengunjung (visitor center) yang memadai. Dengan begitu diharapkan para wisatawan akan lebih teredukasi dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab ketika mereka berwisata. Upaya ini perlu kerja keras yang konsisten dan terkoordinasi oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pariwisata. Jika upaya-upaya ini tidak pernah dilakukan atau dilakukan dengan setengah-setengah, maka kita akan selamanya menghadapi perilaku wisatawan yang beresiko bagi lingkunga dan bahkan membahayakan diri mereka sendiri. Â Â Â Â Â Â