Bukan lagi tentang tangisan semesta berhambur air mata, ini tentang tonggak yang tak pernah terasa nyata.
Bagaimana lagi akan mengumandangkan pembelaannya? Dengan retorika kata tanpa fakta?
Saat sumpah di atas benda dipenuhi doa saja tak lagi dihiraukan, apalagi hanya pasal yang berasal dari goresan tinta.
Cukup sudah, kami bukan lagi balita yang mengutarakan hati dengan transisi kata yang terbata-bata. Bukan bocah yang akan diam hanya dengan sebatang gulali, bukan pula orang dewasa yang iba pada tangis 'air mata buaya'.
Kami tahu, ada isakan sandiwara untuk menutupi busuknya gelora tawa.
Bagaimana? Benarkan, Tuan yang paling Bijaksana?
_10062022