Aku tidak sedang membelanya. Lagipula memang bagiku ia tak butuh dibela. Lihatlah caranya terbang, ia tidak berdesing seperti nyamuk yang penuh waspada saat menafkahi hidupnya. Ia juga tidak meninggalkan gatal pada kulit yang bersentuhan dengan tubuhnya. Memang ia bukan kupu-kupu yang terbang dengan sayapnya yang indah dan membuat kita terpukau. Bukan pula kunang-kunang yang bercahaya di hamparan padi hingga membuat kita penasaran lagi takjub dan bertanya-tanya,"mengapa ia harus bercahaya kalau itu justru membuat keberadaannya lebih mudah dilacak oleh pemangsa?"
Itulah laron. Tak pernah dalam sejarah hidupnya dibela dan meminta pembelaan. Ia datang begitu saja pada suatu bulan dimana ia pernah bersepakat pada hujan. Lalu pergi meninggalkan sayap yang membuatmu cukup kesal padanya. Tapi dialah penulis cerita itu. Di suatu subuh dalam ingatan, ia mengajak kita berlari memburunya, menikmati waktu saat perlahan udara menjadi hangat. Cerita itu, adalah dongeng kanak-kanak yang lekat dalam ingatan kita. Dongeng yang hidup saat kita masih terlalu kecil untuk menterjemahkan dewasa. Tahun demi tahun berganti, dari satu generasi ke generasi, laron terbang mengajak anak-anak berlari. Masih menuliskan dongeng, saat manusia mulai berhenti menuliskannya dan mempercayainya.
Tak perlu kita mematikan lampu. Duduk dalam keremangan dan menunggu ia terbang menjauh. Ia tak meminta dibela, namun dunia bukan milik kita saja. Biarkan ia terbang mewujudkan tarian. Sembah syukur atas cahaya. Makhluk kecil tak berdaya. Sasmita hidup yang sementara.