Oh, tentu ini bukan bualan sintesa tanpa dasar. Sebab “Si Burung Manyar” ini selain rohaniwan, dia juga arsitek handal, budayawan, dan yang pasti pendukung wong cilik.
Sepuluh tahun telah berlalu. Apakah kini, kita—brokrat, politisi, penegak hukum, dan masyakrat luas—sudah sedikit lebih pintar dari saat itu?
Entahlah. Terlepas dari klaim bahwa masyarakat Indonesia kini sudah lebih maju dalam berdemokrasi, tentara elit kita yang sudah diterima lagi latihan bareng di barak milik militer AS, atau ekonomi Indonesia yang konon tak terpengaruh iklim ekonomi global, tapi kesan terbelakang masih terpancar dari raut (penguasa) kita.
Pemerintah yang sekarang, terlampau cermat menghitung kerugian, jika subsidi negara dianggap terlalu besar untuk rakyatnya. Tak ubahnya seperti warung yang harus menghitung break event point atas penghasilan resmi dikurangi dengan biaya yang disumbangkan untuk membantu subsidi minyak atau listrik pemukiman. Alhasil, kita sudah seperti sahaya-sahaya di rumah sendiri.
Beberapa waktu lalu, birokrat kita gencar mengkampanyekan konversi minyak tanah ke gas. Tabung gas “melon” dibagikan cuma-cuma agar masyarakat pindah dari minyak tanah yang banderolnya sengaja dibuat melambung. Proyek ini pun dikeroyok oleh sejumlah kementerian.
Kini, petaka itu tiba. Entah siapa yang melakukan kecurangan, melon-melon itu pun menjadi terror bagi setiap ibu di dapurnya masing-masing. Mereka takut anak-anaknya gosong seperti tetangganya yang bakul bubur ayam.
Korban terus bertumbangan. Sementara itu si pengambil kebijakan dengan entengnya bilang, “silakan bawa regulator, selang, valve (pentil) yang rusak ke tempat anu, dan bapak/Ibu harus mengganti dengan harga Rp.anu”.
Kian hari, korban tabung gas 3 Kg ini pun kian mebludak, meski pemerintah tetap bergeming. Mereka terus rapat dan koordinasi, tanpa menghasilkan keputusan terbaik untuk mengurangi penderitaan rakyatnya yang merintih karena sekujur badannya melepuh.
Virgiawan Listanto alias Iwan Fals pernah berkelakar:
Berdarahkan Tuan.. Yang Duduk Di Belakang Meja
Atau Cukup Hanya Ucapkan Belasungkawa.. aku Bosan
Lalu Terangkat Semua Beban di pundak
Semudah Itukah Luka-luka Terobati
Nusantara.. Tangismu Terdengar Lagi
Meski masih saja “bodoh” semoga tangis kita cepat terhenti! Semoga