Basuki Tjahaya Purnama, begitu nama lengkap beliau, namun lebih dikenal dengan sapaan Pak Ahok.
Mantan Gubernur DKI Jakarta yang sejatinya melepas jabatannya tersebut pada bulan Oktober 2017 ini menyita banyak perhatian, biaya, hingga energy berbagai kalangan, dari dalam pun luar negeri. Terlebih lagi selepas putusan vonis hakim atas kasus yang menerpanya. Berbagai macam aksi damai yang juga sempat berujung anarkis yang melibatkan puluhan ribu hingga ratusan ribu massa menyertai perjalanan kasus beliau ini. Berapa banyak biaya, katakanlah untuk membeli nasi bungkus dan air mineral dihabiskan guna mendanai aksi-aksi damai unjuk tuntutan tersebut? Cukuplah hitung biaya yang tampak di
garis depan, usahlah berspekulasi tentang biaya bagi para tokoh di
belakang layar. Atau cukuplah kita menghitung-hitung berapa harga balon dan karangan bunga yang dihabiskan demi menunjukkan arti
seorang Ahokbagi bangsa ini. Berapapun itu, Apapun tujuan setiap aksi yang dilakukan terhadap Pak Ahok, tetap saja kejadian-kejadian tersebut memberi keuntungan lebih bagi orang-orang yang berkepentingan, dari para politikus hingga pemilik warteg dan penjual balon keliling, termasuk tukang lilin. Tetapi opini ini bukanlah tentang mereka, melainkan tentang Ahok dan pencitraannya.
KEMBALI KE ARTIKEL