Tanpa adanya pendidikan, keadaan yang muncul akan terjadi sebaliknya. Kebodohan, ketimpangan sosial, lemahnya mentalitas, hingga terkukung dalam budaya terbelakang. Hal inilah yang terjadi di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Desa di pundak Merapi ini memiliki 2.500 jiwa yang hampir 98% adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak lulus SD. Keadaan ini tentu bukan tanpa sebab. Kebanyakan diantara mereka menyebut persoalan ekonomi jadi kunci utama. Selain daripada itu, jauhnya akses menuju sekolah tingkat lanjut seprti SMP, dan SMA, juga minimnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Pendidikan yang rendah juga disebabkan oleh mentalitas masyarakat yang kacau. Untuk menyiasati kebutuhan hidup yang serba pelik, masayarakat yang memiliki anak usia 12 tahun memilih untuk segera menikahkannya. Hingga tercatat, angka pernikahan dini di Desa Tlogolele cukup tinggi.
Kemiskinan tersebut bermula dari konsep kehidupan masyarakat yang tidak mengenal pendidikan dan serba bergantung dari hasil ladang garapan. Meski tak perlu membeli tanah, atau menyewa, hasil pertanian sayur tak selalu segar seperti hasil panennya. Sering kali petani harus gigit jari dikala panen harga melorot tajam. Hari ini hasil panen mereka hanya terjual rata-rata Rp 50,- -Rp 100,- per kilogram untuk komoditas mentimun dan sawi. Sedangkan untuk komoditas lainnya tak jauh berbeda. Persoalan ini masih berbuntut panjang. Pengetahuan yang minim dari masyarakat tentang kondisi pasar, menggiurkan para tengkulak untuk semakin mencekik leher petani. Cukup mengendarai mobil bak, tengkulak ini tak pernah membeli hasil pertanian petani. Petani hanya diperkenankan titip jual dengan kompensasi Rp 200,-/kg, jika tengkulak berkata tidak laku, maka petani tak bisa apa-apa.
Keberadaan MTs Insan Qoryah Merapi yang didirikan oleh Sugiyatno (29) sedikit membawa angin segar untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan masyarakat Tlogolele. MTs Insan Qoryah Merapi didirikan Sugiyano ditahun 2008 dengan modal Rp 500.000,-. Kisah yang tentu tak langsung berasa manis. Sekolah yang ia perkenalkan kepada masyarakat Tlogolele ini disambut dengan senyum kecut, pertanda tak baik. Meski gratis selama memperkenalkan lebih dari setahun, ia hanya mendapatkan 8 orang siswa dari sekitar 80 anak yang diluluskan dari SDN Tlogolele 1 dan 2. Selebihnya sudah ada jatah tenda biru, dikirim orangtuanya untuk jadi pembantu, kuli bangunan, dan banyak pula yang jadi penggarap ladang. Ditahun awal, keberdayaan Sugiyatno dengan ketulusannya hanya bisa mentok mendidik anak-anak Mts tersebut didalam rumah warga. Beberapa teman dekat Sugiyatno saling bantu mengajar anak-anak MTs tanpa adanya kompensasi. Semuanya serba kerelawanan, Gajinya Min Khaitsu Laa Yahtashib.
Konsistensi mendidik 8 orang siswa di dalam rumah warga tersebut tak berlangsung lama. Pertengahan 2009 Rofiq sapaan Sugiyatno ini meyewa 3 lokal milik SDN 01 Tlogolele yang tidak boleh dipinjam oleh perangkat desa, maupun pihak sekolah sekalipun. Kurikulumnya, baru ngaji, asmaul husna, bahasa Indonesia, dan sedikit matematika ringan. Kayu sengon berbalut cat putih bertuliskan MTs Insan Qoryah Merapi sudah terpancang didepan kelas. Di tahun itu pula ada tambahan siswa sebanyak 11 anak, hingga kini total keseluruhan siswa yang ada berjumlah 19 anak. Tentu tak perlu membayangkan anak-anak tersebut berseragam lengkap dan membawa tas berisi buku-buku mahal. Bagi Rofiq kemauan belajar anak-anak tersebut sudah lebih dari cukup dari sekedar formalitas berseragam. Jika jam istirahat berlangsung banyak di antara mereka yang menyempatkan menanam sayur diladang, ada pula yang mencari rumput untuk dibawa sepulang sekolah. Maklum jam istirahat bisa tak menentu panjangnya. Yang penting anak-anak mau sekolah.
Ditahun awal, keberdayaan Sugiyatno dengan ketulusannya hanya bisa mentok mendidik anak-anak Mts tersebut didalam rumah warga. Beberapa teman dekat Sugiyatno saling bantu mengajar anak-anak MTs tanpa adanya kompensasi. Semuanya serba kerelawanan, Gajinya Min Khaitsu Laa Yahtashib.