Penulis : DrYansen TP MSi
Editor : Dodi Mawardi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
ISBN : 978-602-02-5099-1
APA itu revolusi? Mendengar kata revolusi biasanya yang terbayang adalah peristiwa berdarah-darah. Misalnya kalau kita kaitkan dengan skala yang lebih makro, yakni revolusi kebudayaan di Cina, revolusi Perancis, dan revolusi Amerika Serikat.
Dalam konteks lebih mikro, misalnya revolusi prakemerdekaan Indonesia yang juga menelen jutaan nyawa anak-anak bangsa.
Membaca buku "Revolusi dari Desa" karya Dr Yansen TP MSi, Bupati Malinau, Kalimantan Utara, jauh dari bayangan itu. Revolusi yang dimaksud penulis buku ini, yakni revolusi paradigma atau cara berfikir, sikap, dan sistem nilai. Bukan dalam artian fisik.
Buku yang merupakan adaptasi dari kajian doktoralnya di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, ini dibuka dengan kalimat apa itu pembangunan?
Pada bab l inilah penulis menjabarkan apa itu pengertian pembangunan dan tantangannya. Masalah kemiskinan, penganguran, infrastruktur, dan sumber daya manusia dan informasi disinggung di bab ini. Menurutnya masalah tersebut tidak akan tuntas jika ditangani dengan kebijakan yang tidak tepat. Apalagi kebijakan yang tidak perlu.
Karena itulah, penulis mengambil langah 'revolusioner' untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Namun konsep ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya penyatuan daya dan energi serta semangat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adalah konsep "Gerakan Desa Membangun" atau lebih populer disebut GERDEMA yang diterapkan bupati Malinau untuk mensejahterakan masyarakatnya. Menurutnya gerakan ini dicanangkan setelah melalui perenungan yang panjang dan mendalam.
Sang birokrat tulen ini juga coba menjawab pertanyaan, kenapa kesejahteraan masyarakat tidak meningkat meski elite lokal dan birokrat daerah telah bekerja keras, khususnya di desa Kabupaten Malinau?
Jawabnya karena tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Dalam konteks ini pemerintah mestinya memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Lalu di mana peran pemda? Dalam konsep ini mereka berperan membimbing, mengarahkan, sekaligus memberi dukungan penuh melalui segenap potensi sumber daya yang dimiliki, termasuk dukungan dana.
Nah, poin penting yang ditegaskan penulis buku ini sebelum menjalankan GERDEMA: seluruh pemangku kepentingan di Malinau terlebih dahulu harus memahami dan mengusai konsep serta implementasi dengan baik; para pelaksana wajib memahami berbagai nilai utama sebagai target yang ingin dicapai. Visi menjadi landasan gerak pembangunan Malinau, dijalankan berdasarkan sebuah konsep yang disertai dengan semangat yang ideal dan mendasar.
Fokus GERDEMA adalah desa. Karena itulah dibutuhkan kerja keras dari birokrat untuk mengubah sistem nilai, mindset, dan culture set dirinya sendiri, perilaku masyarakat, dan pemangku kepentingan di daerah. Dengan demikian impian mewujudkan kesejahteraan masyarakat makin mudah dicapai.
Ekonomi kreatif
Yang menarik di sini, penulis mengatakan bahwa Pemkab Malinau juga menjalankan kebijakan ekonomi kreatif (creative economic policy) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi rakyat yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Untuk diketahui bahwa sepanjang 2011, industri kreatif menyumbang tujuh persen produk domestik bruto (PDB). Kontribusi ini menempatkan sektor ekonomi kreatif pada urutan ketujuh penyumbang PDB terbesar. Penyerapan tenaga kerja juga tidak main-main. Pada 2010, jumlah tenaga kerja kreatif mencapai 8,6 juta orang dari total tenaga kerja nasional 108,2 juta (7,9).
Hebatnya lagi, sumbangan industri kreatif Indonesia terhadap perekonomian nasional lebih tinggi dibanding negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Sumbangan industri kreatif mereka sekitar 5 persen dari PDB. Dari segi varietas, Indonesia juga lebih kaya karena domestic market yang besar.
Kepemimpinan
Sukses atau tidaknya GERDEMA tentu ditentukan oleh kepemimpinan di berbagai level atau tingkatan. Di semua lini dibutuhkan pemimpin yang kompeten dan terampil, serta punya loyalitas tanpa batas dalam mengabdi kepada masyarakat dan daerah.
Terkait ini penulis pun menyodorkan empat gaya kepemimpin: gaya kepemimpinan yang instruktif; konsultatif; partisipasif; dan delegatif. Gaya ini penerapannya disesuaikan dengan kondisinya. Sebab tidak jarang masing-masing desa punya kearifan lokal yang berbeda.
Kesimpulan
Buku ini wajib dibaca, kususnya para birokrat di manapun dia berada. Sebab buku ini tidak saja ditulis seorang pelaku pembangunan, melainkan juga bagaimana ia berjuang mensejahterakan rakyatnya melalui gagasannya: "Gerakan Desa Membangun " (GERDEMA).
Buku ini juga menarik karena diisi testimoni dari pelaku GERDEMA itu sendiri maupun kalangan swasta, hingga akademisi. Termasuk juga data-data sebelum dan sesudah GERDEMA digulirkan sejak tahun 2012 hingga 2013.
Jika mengacu pada data-data yang ditampilkan di buku ini. Penulis menyatakan pelaksanaan GERDEMA 2012 berjalan sesuai harapan. Perubahan yang terjadi pada sistem perencanaan, partisipasi, demokratisasi di pedesaan, kepemimpinan desa, peran serta kelembagaan desa.
Sementara pada 2013, evaluasi GERDEMAÂ lebih ditekankan pada perilaku masyarakat, aparatur desa, satuan kerja perangkat daerah dan satuan tugas. Hasilnya, sebagian besar aparatur mengetahui perencanaan GERDEMA, baik itu penyusunan rencana jangkah menengah desa, maupun penyusunan rencana kerja pemerintah desa.
Keberhasilan model ini saya kira bisa diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia. Namun demikian, dibutuhkan pemimpin yang inovatif untuk mengembangkannya, apalagi mempertahankannya. Keberlangsungan GERDEMA juga patut dipertanyakan jika pengagasnya tidak lagi memimpin kabupaten tersebut. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika ganti pemimpin, juga ganti kebijakan.