Apalagi saya pernah punya pengalaman buruk ketika SMA : saat bertamu ke rumah teman dan membuka pintu rumahnya di Jakarta Pusat, tiba-tiba saja Anjingnya yamg di dalam rumah, meloncat dan mengiggit dengkulku sampai celana panjangku robek dan kakiku berdarah. Gilanya lagi, anjing kecil itu terus menggigit dengkulku walau aku berteriak kaget dan kesakitan, dan baru bisa dilepas setelah anjing itu dipegang oleh temanku yang menjadi majikannya. Gara-gara itu, aku sampai disuntik anti rabies dan tetanus di klinik.
Kelakuan Anjing kecil yang galak itu membuatku Trauma berkepanjangan dan bersikap "bermusuhan" pada Anjing.
Sesudah itu selama puluhan tahun, tidak punya kenangan khusus pada Anjing. Kecuali ketika wisata ke Padang, Sumatra Barat. Saya terheran-heran melihat banyaknya orang yang mengajak jalan anjingnya ke taman kota. Dalam hati saya bertanya-tanya "Kok mereka pelihara Anjing ya? Bukannya mereka adalah muslim yang taat dan Anjing itu "Najis"? Pertanyaan ini tak pernah terjawab, dan aku segera melupakannya... karena Anjing tak pernah kuanggap "penting" dalam hidupku...
Begitulah "hubunganku" dengan hewan yang dijuluki "man's best friend" (yang bagiku itu adalah Kucing)... sampai 2 bulan lalu ketika saya mulai tinggal di Bali. Begitu banyak Anjing di Bali, yang dipelihara maupun anjing liar di jalanan. Mustahil menghindar dari Anjing di Bali (disebut "Cicing" atau "Kuluk"). Itulah sebabnya turis menjuluki Bali sebagai "Island of the Dogs.
Karena 3 minggu pertama di Bali, saya tinggal di Pantai Sanur, maka disitulah interaksi saya dengan Anjing Bali. Kesan pertama saya adalah KASIHAN, karena terlihat Anjing-anjing liar yang berkeliaran di pantai terlihat kelaparan. Kuduga ini karena Pandemi yang telah memukul parawisata di Bali selama 1,5 tahun. Berkurangnya turis, khususnya wisman membuat anjing2 pantai yang tadinya mendapat "jatah" dari sisa makanan turis yang tinggal di pantai Sanur, tak lagi mendapat makanan itu.
Ketika ada anjing mendekat saat aku makan di pantai, aku tidak menghalau mereka. Kuberikan sedikit makananku untuk mengurasi rasa lapar mereka. Wah ternyata beda ya beri makan pada Anjing dengan kucing. Kalau Kucing diberi tulang ayam, maka ia akan sibuk mengunyahnya. Beda dengan Anjing yang terlihat seperti langsung "menelan habis" tulang itu. Hap... langsung bablas tulangnya.
70 hari di Bali, kusudah berpapasan dengan seratusan anjing, khususnya anjing liar yang berkeliaran di jalanan. Di luar dugaan, TIDAK ADA pengalaman buruk dengan Anjing : tak pernah dikejar, diserang, apalagi dilukai. Paling banter digonggongi mereka, khususnya sudah sore menjelang malam.
Ternyata benar apa kata orang : antara "benci" dan "cinta" itu cuma beda tipis. Sekarang saya justru kasihan dan sayang pada anjing-anjing jalanan di Bali... di pusat kota Denpasar, pantai Sanur, pantai Kuta hingga Ubud. Ketika melihat ada anjing yang mendekat ketika saya makan, saya berucap "Tunggu ya sayang"... "Ini tulangnya, sayang".. Aneh juga, mereka bahkan BUKAN hewan peliharaan saya, tapi saya menyebutnya "Sayang" (seperti saya meyebut kucing yang kuberi makan).