Rencana pemerintah di tahun 2010 membuat elektronik kartu tanda penduduk alias e-KTP gagal total setelah skandal mega korupsi oleh Setya Novanto dan kawan-kawan yang merugikan negara trilyunan rupiah.
Kejadian tersebut diketahui publik sekitar tahun 2011 setelah KPK dan lembaga hukum negara lain melakukan penyelidikan. Pelaku korupsi adalah petinggi di Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR. Sebuah kongkalingkong yang sangat melukai rakyat Indonesia. Negara dirugikan hingga 2,314 trilyun rupiah. Jumlah yang sangat besar dan peristiwa pembohongan publik terbesar dalam sejarah republik ini berdiri.
KTP yang merupakan identitas personal warga negara yang harusnya menjadi fasilitas negara bagi warganya malah dijadikan bahan bancakan bagi koruptor-koruptor yang menipu di balik jabatannya sebagai pejabat negara.
Luka dan traumanya belum kering, apalagi sebagian koruptor yang dipenjara masih menunggu proses persidangan alias belum ketuk palu berapa hukuman yang diterima. Sedangkan Setya Novanto, tokoh sentral korupsi e-KTP ini hanya dihukum 16 tahun penjara lebih rendah dari tuntunan. Belum lagi berbagai drama yang terjadi selama di penjaga yang mendapat perlakuan dan fasilitas mewah.
Sekarang ada wacana pemerintah akan membuat proyek KTP digital yaitu pemutakhiran dari proyek e-KTP sebelumnya yang gagal total. Lalu apakah salah jika banyak pihak merasakan kekhawatiran akan terjadi hal yang sama?
Tentu sangat wajar apalagi tingkat korupsi di negara ini masih terbilang tinggi meskipun berbagai program pencegahan tindak korupsi dilakukan. Ditambah KTP merupakan identitas yang memuat data personal dan sensitif bagi tiap warga negara. Hampir setiap keperluan dan aktivitas hidup warga memerlukan KTP sebagai persyaratan.
Parahnya lagi perlindungan terhadap data pribadi belum berjalan dengan baik di sini. Kebocoran dan penjualan data pribadi secara ilegal sepertinya begitu mudah terjadi. Lalu bagaimana jadinya jika KTP digital dengan mudahnya tersebar dan digunakan secara serampangan?
Bahaya kejahatan dan penipuan bisa saja meningkat karena seperti yang dikhawatirkan KTP digital kita digunakan oleh orang lain untuk hal-hal merugikan yang tidak diketahui oleh sang pemilik identitas.
Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian lebih komprehensif terkait permasalahan ini. Menyangkut pelaksanaan yang tentunya menggunakan anggaran pemerintah yang tidak sedikit juga faktor keamanan warga negara ke depannya.
Digitalisasi memang tidak mungkin dihindari mengingat eranya mengarah ke arah sana. Akan tetapi sebagai negara yang besar, penduduk yang besar, dan maaf-kualitas pejabat dan aparatur negara yang masih sering dipertanyakan-- apakah waktunya harus sekarang?
Apakah tidak lebih baik menyiapkan semua infrastrukturnya secara lengkap dan komprehensif baik dari segi UU dan peraturan yang menjamin keamanan warga negara, pencegahan dari sisi teknologi dan hukum tentang bahaya kebocoran dan tindakan ilegal dari kebijakan ini, dan tentunya kesiapan masyarakat dengan digitalisasi.
Masyarakat Indonesia yang majemuk dan sebarannya yang luas tidak semuanya melek digital. Bahkan masih banyak yang tidak menggunakan smartphone sebagai syarat dasar mengakses hal-hal berbau digital.
Generasi manula, warga adat, penduduk di daerah susah sinyal tentu bagian yang harus dipikirkan solusinya. Contoh nyata kendala di lapangan adalah sertifikat vaksin Covid-19 secara digital saja masih banyak mengalami gangguan.
Tentu kita mau uang negara yang harusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih urgent seperti pemulihan masyarakat miskin yang terdampak pandemi harus kembali raib karena program gagal atau muncul koruptor-koruptor baru yang bernafsu merampok duit negara dengan beragam proyek mentah yang dipaksakan.
Salah satu kasus penipuan menggunakan identitas yang dipalsukan baru-baru ini adalah saat Irwansyah, seorang artis dan pengusaha muda, yang ditipu oleh adik kandungnya sendiri hingga mengalami kerugian 5 milyar rupiah.
Sang adik memalsukan identitas Irwansyah untuk meminjam sejumlah dana pada bank dengan menjaminkan beberapa rumah dan kendaraan milik Irwansyah. Saat sang adik tidak bisa melunasi pinjamannya maka pihak bank menyita semua harta yang dijaminkan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi jika tidak ada pemalsuan indentitas dan kelemahan sistem yang digunakan oleh orang-orang bermental penipu?
Irwansyah mungkin bisa mencari keadilan karena dia bisa bayar pengacara dan secara moral menuntut polisi mencari adiknya yang buron.
Tapi bagaimana jika kasus serupa menimpa misalnya seorang petani di daerah sana yang lahannya sekian ratus atau ribu meter diambil paksa karena sudah dimiliki oleh pemilik lain dengan rekayasa digital?
Kekhawatiran masyarakat adalah sebuah kewajaran. Tinggal bagaimana pemerintah menjawab semua kekhawatiran itu dengan baik, benar, dan bijak bahwa peraturan tersebut memang harus diberlakukan pada saatnya.