Membuat identitas diri di ranah daring itu mudah. Yang susah adalah menjadikannya hidup dan berinteraksi dengan lainnya. Banyak
brand yang sudah punya akun
social media di Facebook dan Twitter, tapi pengurus akunnya ternyata masih hidup di dunia nyata. Entah ini salah si pemilik
brand atau admin akunnya, akun
social media lebih banyak digunakan untuk egoistis kepentingan diri si
brand sendiri. Akun ini mengabaikan pertanyaan, komentar, keluhan, kritikan dari warga lainnya di
social media. Salah satu contohnya adalah Mandala Air. Maskapai ini punya akun Twitter
@mandalaair dan
Facebook. Sayangnya si maskapai menggunakannya tak lebih seperti ia menggunakan media majalah, televisi, atau radio. Isi akun hanya bersifat searah, hanya berupa pengumuman promosi dan program semata. Mandala Air sangat jarang menjawab pertanyaan konsumennya. Kalaupun ada yang ia jawab, isinya hanya untuk melengkapi info pengumuman yang belum jelas. Bisa jadi admin akun
brand seperti ini memang hanya diizinkan untuk menjawab yang bersifat aman. Jadi jangan harap kalau konsumen mengeluhkan keterlambatan penerbangan atau kritikan terhadap proses
refund akan dibalas oleh akun Twitter atau Facebook Mandala Air. Untuk situasi yang lebih kritis, biasanya harus
customer service dan humasnya langsung yang turun tangan. Yang sangat disayangkan, sepertinya baik
customer service atau humas
brand ini tidak pernah tahu dengan dunia
social media. Mungkin mereka belum menganggapnya penting. Mungkin loh. Atau malah mungkin mereka hanya tidak tahu cara merespon situasi seperti ini di ranah
social media. Nggak usah bicara dulu tentang
social media. Biasanya para humas
brand ini sensitif kalau ada keluhan konsumen muncul di Surat Pembaca Kompas. Pastinya mereka sudah seperti kebakaran jenggot. Mereka lalu akan sibuk bikin surat jawaban untuk ditembuskan ke Kompas. Nah lucunya saat keluhan serupa muncul di
Detik.com atau di
Kompas.com tak ada tanggapan sama sekali. Kalau dengar dari cerita juragan Detik.com, para pengelola humas
brand ini masih sangat berpikir tradisional. Mereka menunggu disuapi. Ada
brand yang tidak memantaunya. Kalau pun memantau, mereka akan sibuk bikin surat jawaban, lalu mengirimkannya dalam bentuk fax ke Detik.com, lalu berharap Detik.com yang akan mengetikkan ulang. Hihi, bodoh ya? Padahal si humas kan tinggal menjawabnya di kolom komentar yang sudah disiapkan. Untuk pendekatan personal, memang
brand bisa meminta identitas pengirim tulisan. Namun tetap saja
brand tetap harus memberikan respon langsung di komentar yang disediakan, supaya dibaca pula oleh publik. Membiarkan berita buruk di ranah daring adalah perbuatan yang sangat bodoh, padahal dampaknya bisa jadi lebih besar daripada kalau berita buruk itu muncul di koran Kompas. Kita sangat jarang membuka-buka koran Kompas edisi lalu, tapi saat berita tayang di ranah daring, maka Google pun akan merekam jejaknya. Sekedar contoh tentang kasus Mandala Air. Silakan cari saja di Google tentang “
Mandala Air kecewa” dan ratusan tautan akan bermunculan. Oh ya, sekalian. Kalau kebetulan ada admin Mandala Air membaca tulisan ini, tolong sampaikan ke pihak humasnya agar membaca artikel tentang Mandala Air di Surat Pembaca Kompas. Salah satunya adalah
ini. Kredit foto:
Augie Schwer
KEMBALI KE ARTIKEL