Itulah salah satu keunikan pasar tradisional desa Nualunat, Kec. Kot'olin, Kab. TTS-NTT. Sebuah pasar yang masih sangat alamiah. Letaknya terpencil di selatan Pulau Timor, sebelumnya cukup sulit dijangkau kendaraan dari kota terdekat, baru tahun ini akses ke sana cukup terbuka setelah mulai dibangunnya jalan Trans Selatan Timor. Di pasar tradisional yang berlangsung setiap hari senin ini, siapapun dilarang untuk melakukan transaksi sebelum ada pengumuman dari Kepala Desa atau tetua adat yang mewakili. Dalam bahasa setempat pengumuman untuk boleh berjualan dikenal dengan bonun. Bonun dilakukan sekitar jam 7.00 pagi.
Biasanya setiap hari senin pagi sebelum jam bonun, mereka yang ingin berjualan sudah berbondong-bondong datang kesana untuk menggelar dagangannya di lapak berupa tikar dari anyaman daun lontar, terpal ataupun rangkaian karung yang digelar di atas tanah.
Barang yang dijual di sana adalah bahan-bahan kebutuhan harian khas pasar tradisional diantaranya hasil kebun seperti umbi-umbian, pisang, kelapa, buah-buahan. Ada juga ikan, ternak kecil seperti ayam, kambing, anak babi, hingga barang-barang seperti sabun, pakaian, dan lainnya. Khusus ternak letaknya agak berjauhan dari pusat pasar.
Masyarakat yang ingin berbelanja di sana akan datang agak belakangan menjelang jam bonun, namun tidak ada transaksi yang berlangsung sebelum ada bonun. Pengunjung pasar ini mungkin berkisar 700an orang yang datang dari 4-5 desa sekitar.
Jika sebelum ada ijin berjualan dan ada pembeli yang 'naksir' dengan barang tertentu maka harus bersabar, dia hanya boleh bertanya berapa harganya. Nanti setelah ada bonun barulah si pembeli datang untuk melakukan transaksi dan mengambil barangnya.
Jika ketahuan melakukan transaksi sebelum diijinkan (belum ada bonun) maka si penjual maupun pembeli akan dikenakan sanksi. Sanksi umumnya berupa denda uang, larangan berjualan untuk jangka waktu tertentu, hukuman fisik seperti disuruh berlari menempuh jarak tertentu, melakukan kerja sosial atau hukuman lain yang ditentukan oleh kepala desa.
Alasan utama diberlakukannya bonun adalah sebagai upaya untuk mengatur agar "hajatan" mingguan itu berjalan tertib dan aman. Ini dikarenakan dulu sering terjadi gesekan antar warga saat berinteraksi di pasar dan tak jarang terjadi adu fisik (katanya sih pernah terjadi baku potong). Umumnya pemicu konflik adalah masalah muda-mudi karena bagi masyarakat setempat pasar bukan hanya tempat jual beli tapi juga menjadi tempat berkumpul, menikmati hiburan keramaian, bertemu jodoh hingga sebagai tempat "pamer ego" anak muda yang sedang mencari identitas.
Biasanya kalau terjadi konflik terbuka yang berpotensi timbul masalah yang lebih besar maka kepala desa alias tua adat akan kembali bonun agar transaksi hari itu dihentikan dan pasar dinyatakan bubar lebih awal. Bahkan ada kejadian dimana masalah yang berawal dari pasar semakin luas dan melibatkan banyak orang maka Kades berhak menutup pasar itu untuk jangka waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan sampai suasana kembali kondusif.
Di desa ini, kepala desa memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur segala sesuatu karena yang menjabat kepala desa adalah juga pimpinan masyarakat adat turun-temurun sejak nenek moyang.
Pasar adalah sarana menjalin persaudaraan sehingga lebih baik ditutup namun persaudaraan tetap terjaga dari pada tetap ada namun hanya sebagai arena permusuhan. Pasar tidak melulu tempat berputarnya uang tapi juga sebagai tempat memperkuat ikatan kekeluargaan. Di tengah hiruk-pikuk pasar, warga akan menyempatkan dari bersama sanak famili dan kenalan yang ditemui di sana untuk saling berbagi dan bersama mengunyah sirih-pinang yang dimiliki, sebuah tradisi yang menjadi simbol kekeluargaan dalam masyarakat Timor.
Normalnya pasar Nualunat berlangsung 1/4 hari yaitu sejak pagi hingga siang (sekitar pukul 12.00-13.00). Biasanya transaksi berlangsung ramai hanya 3-4 jam setelah bonun, selanjutnya berangsur sepi karena semua pengunjung sudah membeli apa yang dibutuhkan. Pasar Nualunat tidak begitu luas, mungkin hanya sekitar 250x250 m2 sehingga tidak butuh waktu lama menjelajahi seluruh sudut pasar untuk mengetahui apa saja yang dijual di sana.
Lokasi pasar berada di pinggiran kampung di bawah rindang pohon-pohon cemara berusia puluhan tahun. Hampir semua lapak (lebih kurang 50an) mengandalkan bayangan pohon sebagai tempat berteduh, cuma 4-5 lapak yang menggunakan terpal. Jika pohon-pohon di lokasi pasar itu sudah tidak lagi rindang akibat aktifitas mingguan yang menyebabkan banyak pohon mati maka lokasi baru yang lebih rindang dan tidak jauh akan dibersihkan secara gotong royong dan ditetapkan sebagai lokasi pasar untuk minggu-minggu mendatang. Nanti kalau lokasi lama sudah hijau baru balik lagi, begitu seterusnya.
Walaupun berlangsung dalam waktu hanya beberapa jam, pasar ini menjadi wadah interaksi yang sangat penting bagi masyarakat setempat. Warga selalu menjadikan pasar sebagai tempat untuk bertemu dan menjalin silaturahmi dengan banyak orang, entah itu secara tidak sengaja ataupun sengaja. Masyarakat sering menjadikan pasar sebagai tempat janjian bertemu atau mencari orang tertertentu.
Di pasar ini, bisa dipastikan semua orang yang datang ke sana saling mengenal. Kalaupun tidak mengenal dengan pasti siapa namanya, setidaknya mereka bisa mengetahui berasal dari mana orang itu dan bermarga apa. Apakah berasal dari dalam desa, desa tetangga atau orang "asing." Dengn itu jika terjadi pelanggaran terhadap bonun atau terjadi perkelahian, bisa dengan mudah ditelusuri siapa pelakunya untuk disanksi.
Transaksi di pasar ini memang sudah menggunakan uang tapi sistim barter tetap berlaku di sana. Biasanya barter berlangsung belakangan menjelang bubarnya pasar karena di saat itulah barang yang hendak dijual tapi tidak laku ditukar dengan barang warga lain yang juga belum laku jualannya. Jenis barang yang dibarter sesuai kesepakatan bersama secara kekeluargaan.
Hal unik terakhir, ada semacam "tabu" di pasar ini kalau menjual atau membeli jagung. Ini bermula dari kenyataan bahwa jagung adalah makanan pokok semua masyarakat setempat, karena itu masyarakat juga harus memiliki kebun jagung untuk dipanen sebagai sumber pasokan makanan sepanjang tahun. Nah, jika ada warga yang ketahuan membeli jagung maka muncul anggapan negatif dari masyarakat bahwa orang tersebut sudah "kelaparan," tidak ada lagi makanan apa-apa di rumahnya. Sedangkan orang yang menjual akan dianggap pelit dan tega menjual jagung kepada orang yang sedang kelaparan.
Bagi mereka, membeli beras atau bahan makanan selain jagung adalah wajar tapi kalau sampai membeli jagung maka itu adalah sebuah aib. Bukan hanya aib bagi dari sendiri tapi juga bagi keluarga besar. Orang tersebut akan menjadi bahan pergunjingan dalam masyarakat yang sudah saling mengenal dan merasa sebagai keluarga besar. Dia akan dicap malas bekerja, tidak bisa mengatur stok makanan dengan baik dan stigma negatif lain. Jadi, dari pada menanggung malu plus mempermalukan keluarga besar maka sebaiknya bekerja keras mengelola kebun dan mengatur pasokan jagung dengan baik agar tidak kekurangan dan harus membeli jagung di pasar.*
Catatan: