Delapan tahun lalu, di 2014, saya bertemu seorang gadis penjahit di biara susteran. Dia, kala itu, pemalu, bertutur sungkan, berlaku sederhana, berlangkah kikuk. Seperti gadis desa pada umumnya tiba di kota madya, kita gampang membedakan: tanpa make up, ugahari, berjarak pada yang asing--- kaum pria. Saya ingat, sewaktu berjalan ke tempat masing-masing usai perayaan misa tahbisan di Seminari Tinggi St. Mikael-Kupang. Saya banyak berujar, dan dia hanya terdiam sepanjang perjalanan. Kadang di sela-sela percakapan, saya mencuri-curi memandang senyumnya. Gadis pemalu dan polos itu hanya memandang pada langkah kaki, sesekali ke arah saya sekadar mencari keyakinan. Â Di satu sisi suasana tenang, penuh harap, naif, dan tak berdosa. Di sisi lain "angin tajam kering, tanah semata gersang".
KEMBALI KE ARTIKEL