Banyak pengkaji dan pengagumnya berkeberatan jika karya besar itu di film kan maka akan mengurangi kebesaran nya. Sudah pasti film dengan durasi yang singkat, tidak akan mampu memotret secara keseluruhan isi novel secara utuh dan menggambarkan semua tokoh yang punya peran kuat di dalam cerita.
Generasi sekarang pastilah tidak terlalu familiar dengan karya karya seorang Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer), di bandingkan karya karya novelis zaman sekarang seperti Tere Liya, Asma Nadia, Andre Hirata dan yang lain. Karya karya Pram tentu memiliki bobot yang tinggi bagi tujuan tujuan kemanusian, nasionalisme dan kebebasan. Pram telah memotret berbagai situasi kebatinan zaman oleh praktik kolonialisme dan imprelisme menjelang akhir abad 19 dan awal abad 20 yang di lakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Nah ada baiknya Generasi sekarang kembali membaca karya karya besar Pram untuk kembali mempertautkan sejarah kekinian dan masa lampu agar menemukan satu elan vital bagi kehidupan yang terus alfa bagi ke manusian.
Tetralogi Pulau Buru adalah karya 4 jilid, yang di kisahkan Pram pada kawan kawannya semasa menjadi pesakitan tahanan politik (Pulau Buru). terdiri dari Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Novel ini sempat di larang terbit rezim ber kuasa karna di stigmakan membawa alam fikir kiri.
"Bumi Manusia" bercerita tentang seorang anak priyayi pribumi jawa bernama Minke (nama samaran yang merujuk pada tokoh pers pertama Republik Raden Tirto Adhi Soerjo). yang mendapat pendidikan ala belanda di HBS. Berfikir ala belanda, bersikap dan bertingkah laku, berkawan dengan orang orang belanda, adat budaya standar belanda adalah sesuatu yang tinggi bagi Minke.
Minke kemudian oleh satu sebab, di perkenalkan pada seorang perempuan Cantik bernama Anellis Melemma di Wonokromo satu kota dekat surabaya, Annelies keturunan Seorang Pria Belanda Herman Mellema dan seorang Nyai Pribumi Jawa bernama Sanikem yang di kenal dengan Nyai Ontosoroh.
Dari sanalah cerita di mulai, tanpa di duga pertemuan pertama pada Annelies membuat Minke takjub dengan kecantikannya noni belanda itu, bukan hanya soal fisik semata kekagumannya tertuju, Annelies di bawah didikan Ibunya Nyai Ontosoroh memiliki berbagai kemampuan dalam mengelola perusahaan mulai dari manajemen, keuangan, administrasi dan leadership. Walaupun dalam keseharinnya Annelies adalah anak yang manja. satu kombinasi yang unik bagi seorang perempuan masa itu.
Hubungan itu menjadi rumit bagi Minke bahwa berhubungan dengan seorang Nyai adalah satu perbuatan yang hina dalam masyarakat masa itu, Nyai adalah seorang gundik, gundik atau praktik pergundikan adalah hubungan suami istri menjadi satu keluarga tanpa ikatan perkawinan yang sah. dalam pandangan masyarakat seorang Nyai tidak beda dengan pelacur. Walaupun zaman itu praktik pergundikan merupakan kelumrahan bukan hanya bagi orang orang asing tapi juga buat para raja raja, aristokrat maupun bupati bupati di Hindia Belanda.
Suasana kebatinan itu lah yang meliputi Minke, Raden Mas Minke adalah anak seorang Bupati di kadipaten B, seorang murid H.B.S yang cemerlang. bagaimana mungkin aku bisa berhubungan dengan keluarga seorang Nyai, yang melahirkan anak hasil pergundikan. Pandangan minor demikian yang meliputi Minke sepanjang hari, sehingga kawan dekat nya Jean Marais mengatakan ; "Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan." Katanya pada Minke.
Pertemuan pada satu hari itu di Wonokromo, berlanjut pada pertemuan pertemuan berikut nya yang lebih intim. Penerimaan yang hangat oleh Nyai Ontosoroh dan Annelies membuat Minke tak kuasa untuk menolak setiap tawaran untuk berkunjung lagi. Mungkin itulah hipnotis kekayaaan dan kecantikan. Keterpandangan dan kehormatan di peroleh Sang Nyai adalah karna kecerdasan dan kekayaanya dalam membangun bisnis perkebunan yang sudah di tinggalkan suaminya Herman Mellema. Sepanjang itu pula kebatinan Minke berkecamuk dalam minor dan mayor, antara kagum dan hina, antara ketinggian derajat yang di milikinya, antara ningrat jawa dan gundik.
Tanpa di sadarinya Nyai Ontosoroh dalam tiap pertemuan seperti menjadi guru kehidupan bagi Minke, tidak seperti Nyai lain yang terbelakang dan Binal. Nyai Ontosoroh walaupun tidak mengenyam bangku pendidikan, namun pengetahuan, sopan santun, adat istiadat belanda sangat di kuasainya. seorang yang bijak dan tajam dalam berbicara, tegas namun tetap hangat.
Pada satu kesempatan Nyai Ontosoroh bertanya apa pekerjaan mu Minke ? Saya membantu memasarkan dan mencari pelanggan untuk lukisan seorang kawan Jean Marais. Nyai berkata lirih ; Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.
Hubungan Minke dan Annellis Melemma semakin bertaut, walaupun tanpa ada komitmen apapun, mereka menjalani seolah sepasang kekasih. Sang Nyai tidak ber keberatan Jika Minke ingin tinggal di rumahnya, dia melihat kebahagian yang belum di lihat nya, pada diri Anaknya sebelum hadirnya Minke. Annelies memang seperti kehilangan sosok laki laki dalam hidupnya, sejak ayahnya Herman Mellema dan kakak laki lakinya Robert Mellema sedari dahulu hanya sibuk dengan diri mereka sendiri.
Minke menjadi nafas baru dalam keluarga Nyai Ontosoroh, bagi Anneliess Minke adalah sumber kehidupannya, sampai pada titik Annelies tak dapat hidup tanpa Minke di sampingnya. Walaupun suasana kebatinan Minke belum tuntas antara tetap melanjutkan hubungan itu atau pun mengakhirinya. Bagi Minke banyak yang di pertaruhkan dalam hubungan yang sedang di jalaninya. Sudah pasti ayahnya tidak akan setuju jika ia kemudian menikah dengan anak seorang gundik walaupun kaya raya, belum lagi masa depan nya di H.B.S menjadi terganggu, pandangan masyarakat yang menghinakn hubungan itu. Minke masih berfikir tentang masa depan dan mimpi mimpi nya yang begitu panjang.
Sahabat sahabat dan guru nya di H.B.S pun ingin Minke menjadi seorang Bumiputra yang terpelajar dan terpandang, Magna Pitter guru bahasa dan sastra, Sarah dan Miriam anak dari kepala Keresidenan Kota B Herbert De Le Croix . mereka berharap Minke menjadi Perintis kemajuan Pribumi di Hindia Belanda.
Dalam Novel Bumi manusia yang mengambil setting pada zaman kolonial, saat berlakunya politik etis di Hindia Belanda. Banyak pesan yang akan kita tangkap, sebagai seorang Realis Pram tidak di ragukan mampu menghidupkan setiap cerita yang di narasikannya, sebagai sesuatu yang bernyawa dan kita di ajak untuk hidup pada masa itu, menjadi berempati atas berbagai situasi cerita yang hadir. Walaupun di akhir "Bumi Manusia" kita akan menyangsikan kematian "Bunga Penutup Abad" Annelies Melemma yang mengharu biru dalam kesendirian dan kesepian nya.