Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Surga itu Bernama Bunda

2 April 2011   15:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:11 392 4

Setelah pernikahan, dengan izin Allah terciptalahsebuah kehidupan baru di rahim sang wanita calon ibu. Betapa bahagianya hati wanita ketika mengetahui dirinya hamil, generasi baru akan hadir melengkapi hidupnya. Segala upaya dilakukan agar sang jabang bayi tumbuh sehat.Kesehatan selalu di jaganya. Ibu memperhatikan gizi dan nutrisi yang dimakannya, agar sang anak kelak menjadi anak yang sehat dan cerdas. Tidak lupa pula ia mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin yang dibutuhkan bagi perkembangan bayi di dalam rahimnya. Olahraga ibu hamil pun diusahakannya agar proses kelahiran nanti lancar. Konsultasi ke bidan dan ahli kandungan dengan rutin ditengah kesibukannya

Bulan demi bulan dilalui dengan penuh doa, harap dan cemas. Perubahan fisik dan psikis dirasakan ibu tiap bulannya. Tentu saja tidak semua perubahan itu menyenangkan. Mual-mual, serba salah, tidak enak badan, belum lagi si janin makin terus tumbuh membuat ibu makin berat membawa perutnya. Dengan senang hati ibu menerimanya. Makan dan aktivitasnya dijaga penuh. Lantunan doa dan harapan serta ayat-ayat suci terus menggema.Dengan bahagia ibu dan ayah mempersiapkan nama indah berisi doa buat sang buah hati. Ibu dan ayah pun mendadak lapar mata setiap melihat pernak-pernik bayi di toko.

Sembilan bulan dilalui dengan penuh suka cita. Maka saat-saat mendebarkan itupun tibalah. Proses kelahiran seorang anak manusia ke dunia ditandai dengan perjuangan ibu antara hidup dan mati. Jiwa sendiri tidak dipikirkan, yang penting sang buah hari lahir selamat dan sehat. Kalahiran itu menjadi hal yang amat membahagiaakan. Rasa sakit yang luar biasa ketika meregang nyawa segera terlupakan. Di sinilah seorang wanita mencapai jenjang tertinggi dalam karirnya. Menjadi ibu, jihad besar bagi seorang wanita.

Hari-hari selanjutnya, kembali ibu dituntut keperkasaannnya. Jadwal tidur jadi tak menentu, sedangkan pekerjaan rumah bagai tak ada habisnya. Tengah malam sang bayi menangis, bergegas ibu menenangkannya dan menyusuinya. Dengan sigap ibu penuhi segala kebutuhan si bayi, dan tanpa perasaan jijik sedikitpun ia mengganti popok sang bayi. Tangan lembutnya mengusap tubuh mungil kita sehabis mandi dengan minyak kayu putih agar kita sentiasa merasa hangat. Hari-hari ibu disibukkan dengan menjaga dan merawat kita. Tak peduli bajunya kotor kena muntah dan tumpahan susu,ibu tak menghiraukan tubuhnya bau pesing karena ompol. Saat kita sakit, ibu panik bukan kepalang, kadang ibu memangis dalam doanya untuk kesembuhan kita.

Ibu-ibu yang bekerja di luar ternyata juga dituntut keperkasaan yang sama. Ada pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, lalu kontak bahin dengan sang buah hati. Eratnya kontak batin inilah yang sering membuat rasa bersalah bagi ibu-ibu bekerja. Di satu sisi ia harus berada di luar rumah, di sisi lain ia pun ingin berdekatan dengan anaknya.

Kedekatan emosi antara ibu dan anak inilah yang menyebabkan sebagian besar anak lebih akrab dengan ibunya. Mereka tumbuh dengan bimbingan lahir bain dari ibu. Lagi-lagi ibu dituntut kesabaran, keluasan hati dan akal, dan keteguhan dalam mendidik anak. Ibu mengajarkan kita mengucapkan kata-kata, mengajari kita berjalan, ibu mengajari kita menjadi anak yang pintar. Mengajari kita sopan santun, beliau membiasakan kita agar mengucapkan terima kasih ketika ditolang orang lain, mengucap salam, dan maka serta memerima pemberian orang lain dengan tangan kanan.

Ingatkah kita ketika ibu mengajari kita membaca doa mau tidur, atau ketika ibu menceritakan kita kisah-kisah dongeng penuh hikmah dari negeri antah berantah sementara beliau sendiri sudah terkantuk-kantuk? Atau waktu ibu mengajari kita mengenal angka. “ Satu seperti tongkat, dua gambar bebek, tiga kuping monyet,...”. Dengan telaten beliau mengajari kita membaca, berhitung, dan mengaji.

Ibu orang paling care terhadap perkembangan kita, di samping ayah tentunya. Betapa ibu tak mau kehilangan sedikitpun kesempatan menikmati pertumbuhan anak-anaknya. Ada getar-getar tak terlukiskan ketika sang anak pertama kali sukses memanggil ‘ibu’ padanya.

Seorang anak akan banyak bersosialisasi ketika ia sekolah. Di sini ibu tetap memainkan peran penting. Sementara kehidupan mungkin saja tak sesederhana dulu. Anak ibu bertambah terus. Keadaan ekonomi semakin sulit, sehingga bisa saja ibu harus bekerja membantu ayah mencari nafkah. Ada juga keluarga yang ayahnya telah wafat, sehingga ibu memainkan peran ganda. Ibu harus banting tulang mencari nafkah.

Sementara di luar rumah, sang anak mulai membangun dunia barunya. Ada teman-teman, guru, tetangga, sanak famili yang mengajarkan banyak hal baru padanya. Banyak konflik yang bisa terjadi ketika anak tumbu besar. Ada yang gemar melawan, tidak patuh perintah ibu. Ada yang cemburu pada adik-adiknya, ada yang suka bertengkar. Ada yang...macam-macamlah. Lagi-lagi ibu dengan kesabarannya merengkuh setiap anaknya yang datang dengan berbagai masalah. Sesekali ibu marah. Kadangkala ibu mengeluh capek

Saat sang buah hati sakit, ibupun turut merasakan sakit. Tapi, dengan tertatihnya emosi, beliau mampu tegar. Bahkan menyemangati anaknya untuk cepat sembuh.

Dengan polanya yang khas, ibu membagi waktu-waktunya secermat mungkin. Antara pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, mengurusi ayah, mengurus anaknya sekaligus mendidiknya. Bahkan tak jarang ia meluoakan dirinya sendiri. Ibu bangun paling awal di subuh hari, menyiapkan segala keperluan keluarga, di malam hari beliu pun tidur setelah yakin mata kita terpejam.

Ketika masuk bangku sekolah beliau berharap kita dapat menuntut ilmu dengan baik agar cita-cita kita tercapai kelak. Ibu ingin anaknya bersekolah setinggi mungkin, menjadi orang yang berilmu dan beriman tentunya, menjadi orang yang derajatnya ditinggikan. Betapa bahagianya ibu ketika mendapati kita berprestasi di sekolah, bagai jerihnya terobati dengan nilai kita yang membanggakan. Namun dia tak pernah marah ketika disuguhi raport kita yang banyak merahnya, ibu malah menasehati dan menyemangati kita untuk rajin belajar.

Secara alamiah menusia tumbuh seiring waktu. Anak-anak yang tadinya kecil-kecil, tumbuh dwasa. Pelan-pelan meluaskan dunianya. Seringkali ibu yang tetap memegang peran penting bagai tertinggal.Anak mulai suka bergaul dengan teman-temannya. Di satu sisi bagus, anak mulai mandiri dan bersosialisasi lebih baik. Di sisi lain , sering anak menganggap ibu gak paham dunianya. Ibu dan anak mulai terpisah rentang generasi. Padahal, ibu harus tetap mengawasi perkembangan anaknya.

Tahukah kita bahwa ibu tak pernah bisa kehilangan sedetikpun dalam memantau pertumbuhan kita? Tahukah kita bahwa ibu selalu menanti cerita-cerita kita seperti kita bocah dulu? Ibu tetap ingin menjadi orang terdekat kita. Bila ibu mungkin bertanya-tanya tentang jauhnya kita, maka tolong jelaskan dengan baik kepadanya. Agar rentang itu tidak semakin jauh. Allah senantiasa mengingatkan kita untuk berbuat baik terhadap orang tua kita. Sebesar apapun perbedaan yang ada.

Mungkin kita tidak tahu, bahwa di hari tuanya ( ketika kita berangkat dewasa) ibu sering merasa sepi. Rutinitas rumah tangga yang telah puluhan tahun dijalaninya, dapat saja menimbulkan kejenuhan. Apalagi ketika sang buah hati tak mau lagi bercerita atau sekedar mendengar ceritanya.

Sekarang kita mungkin masih sibuk dengan dunia baru kita. Kita berpikir bahwa ibu adalah wanita perkasa yang tidak pernah mengeluh, tapi mudah-mudahan kita masih punya sedikit waktu untuk sekedar memijit atau menjerangkan air panas untuknya. Membantu pekerjaan rumah, menolong memasak dan membersihkan rumah.

Ibu memberikan pengorbanannya tanpa pamrih, dia tak pernah menuntut agar kita membalas jasa-jasanya. Bahkan kadang dia menolak jika kita sekedar memberi kado. Malah ibu berkata “Ibu gak perlu hadiah, kamu jadi anak yang baik, shaleh, sekolah yang benar. Itu sudah cukup buat Ibu,”

Semoga kita bisa tetap melihat sinar bahagia di mata wanita pekasa itu sampai di usia senjanya. Kala ia mendengar kita lulus dan diwisuda. Atau ketika saatnya nanti ibu mengantar kita ke gerbang hidup baru . Saat kita menemukan pendamping hidup dan membangun rumah tangga baru. Saat kita juga akan menjadi orangtua bagi anak-anak kita kelak. Saat itulah ibu mencapai puncak kehidupannya. Mengantar anak-anaknya dengan selamat ke babak berikutnya. Bekal-bekal untuk itu telah ia persiapkan sepanjang hidupnya. Surgalah kiranya balasan yang paling tepat untuk beliau. Dan harus selalu kita ingat surga untuk kita berada di telapak kaki ibu.

Pandaisikek, 2 April 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun