Balik lagi keurusan jauhnya sekolahku dari rumah. Karena faktor jauh itulah aku mau tidak mau harus ngekost. Aku sih mau aja soalnya kalau pulang pergi tiap hari pastinya kewalahan banget. Bukan cuma jauhnya yang jadi masalah tapi jalan dari Rangkasbitung ke Cipanas tempatku tinggal sangat tidak bersahabat waktu itu.
Kebetulan kostanku hanya sepelemparan batu letaknya dari sekolah. Sengaja aku memilih tinggal disitu demi penghematan pengeluaran jadi ke sekolah tinggal jalan kaki and pastinya gak bakal telat masuk, soalnya aku tahu kapan tepatnya gerbang sekolah di tutup. Hahaiii…
Aku sekamar berdua dengan Sri kakak kelasku di sekolah. Orangnya baik, menyenangkan, pintar pula dan terutama keibuan (maksutnya dia paling cerewet kalau liat aku malas-malasan, kalau udah gitu di mataku teh Sri menjelma seperti emak-emak galak. Euuuw!!).
Kebiasaan burukku yang paling di benci teh Sri waktu itu adalah tidur setelah shalat shubuh. Aku yang ngerasa gak ada keperluan apa-apa dipagi hari (maksutnya sekolah gitu), hehehe… anteng-anteng aja menarik selimut kembali dan melanjutkan merajut mimpi. Nah, kalau sudah begitu bersiap-siap pulalah teh Sri mengganggu ‘kesenanganku’ itu. Dari gelitikin, niupin mata, pasang bel keras-keras, sampai-sampai melakukan hal-hal setingkat percobaan pembunuhan kepadaku, seperti menutup hidungku dengan kaos kaki yang baunya udah gak karuan dan bikin “hueeeekss…”. Walaupun awalnya kelakuan teh Sri rada-rada ngebetein gitu buat aku, tapi sebagai makhluk paling imut dan manis aku terima deh dengan ikhlas, xixixi…
Mungkin sebenarnya banyak banget kelakuan minus aku selama dikostan yang ngebetein teman-temanku. Untungnya teman-teman selalu memakai azas praduga tak bersalah (wkwkwk… apa hubungannya). Maksudnya setiap kali ada teman yang berkelakuan minus mereka selalu lebih memilih menegur dengan menjaga perasaan. Dikostanku belum pernah ada kejadian gontok-gontokkan antar sesama penghuni, semua aman, tenang, dan terkendali. Hohoho…
Umi, ibu kostku selalu bilang salah satu etika dalam bersahabat dan bermasyarakat adalah menjaga perasaan. Seperti yang diungkapkan Rasulullah SAW, bahwa seseorang dikatakan Muslim jika Muslim yang lain terbebas dari mulut dan tangannya. Maksudnya kata-katanya tidak menyakiti dan perilakunya tidak melukai. Hal tersebut merupakan satu-kesatuan utuh dalam pembentukan karakter muslim sejati. Karena kata-kata bijak tanpa diiringi oleh perilaku yang sesuai dengan apa yang dia ucapkan hanya akan menjadi omong kosong. Dan sebaliknya perilaku yang baik akan sia-sia jika diiringi oleh kata-kata yang menyakitkan.
Oleh karenanya muslim sejati adalah orang yang senantiasa membawa rasa aman dengan apa pun yang ada pada dirinya dan bagi siapa pun yang ada disekelilingnya. Karena dunia yang ideal adalah dunia kedamaian bagi sekalian manusia dengan meniscayakan adanya penghargaan bagi setiap individu tanpa melihat suku, ras, golongan dan agamanya.