Apakah betul nenekku yang biasa kami panggil Eni memahami Islam-ya secara nyeleneh? Wallohualam! Adalah acapkali kami memergoki semacam suguhan di goah. Goah yaitu bilik khusus tempat penyimpanan beras dan makanan kering. Atau hasil kebun seperti kacang panjang, jagung, pisang dan sebagainya. Suguhan itu tentu saja secara khusus dibuat oleh Eni. Biasanya meletakkan suguhan di goah itu setiap kali malam Selasa dan Jumat. Ada pengalaman lucu seputar goah ini. Goah, begitu keramat yang dikesankan oleh para orang tua kepada anak-anak. Entah iseng, tanpa disadari atau entah dengan maksud lain. Pendeknya, di mata anak-anak goah adalah suatu tempat paling menyeramkan. Digeugeuh atau dihuni oleh Embah Jambrong. Maka setiap kali kami harus melintasi goah, sudah dipastikan akan heboh. Padahal letak goah ini tepat di lorong penghubung rumah satu dengan rumah lainnya. Jadi kami harus sering-sering melintasinya. Biasanya kami akan minta salah seorang dewasa untuk menemani kalau mau melewatinya. Sering pula kami melintasinya sambil lari terbirit-birit dan menjerit-jerit ketakutan. Sungguh. Hee-boooh, Bo! Suatu saat, ketika usia saya sudah agak besar. Sudah duduk di Sekolah Dasar. Sampai kelas empat namanya masih Sekolah Rakyat. Sementara Aki telah dipanggil Sang Pencipta. Petang itu hari Kamis. Saya melihat Eni sedang sibuk menyiapkan sesaji. Saya sering merasa ngiler dengan isi sesajinya. Ada secangkir kopi pahit. Secangkir rujakan yang rasanya pastilah segar dan gahar, asam segar. Ada pisang emas yang imut-imut. Ditambah telur ayam kampung separuh matang. Kali ini saya lihat ada tambahannya. Yaitu bubur merah bubur putih. "Geuningan
8 banyak suguhannya, Eni?" usik saya. "Iya. Apan
8 Ini malam Jumat Kliwon. Bulan Mulud...." "Memangnya kalau bulan Mulud kenapa, Eni?" "Para Embah, karuhun
9 akan turun gunung." "Embah, karuhun itu seperti apa rupanya, Eni?" "Embahnya seperti jurig10, barangkali...." "Hiiiy!" "Siapa tahu mereka melewati tempat kita ini...." "Mampir ke goah kita, ya Eni?" "Hmm...." Eni menyahut sambil mengangkut baki perak berisi sesaji itu ke goah. Kali ini saya mengintilnya masuk goah. Kalau ada Eni tidak merasa takut. Kan Eni yang punya goah-nya. Saya perhatikan suasana goah dengan seksama. Isinya lumayan penuh. Maklum, kami baru panen raya. Banyak hasil tani dari sawah milik Aki di Cirangkong. Sebagian kecil ditaruh di goah. Selebihnya di leuit atau lumbung di samping rumah. Lihat saja, ada peuyeum atau tape ketan hitam yang belum jadi. Ada uli ketan sampai dua tampah besar. Ada juga rangginang yang sudah kering. Baik yang mentah maupun yang sudah digoreng dalam kaleng-kaleng besar. Ada lagi macam-macam dodol, wajik dan penganan yang terbuat dari ketan dan beras. Wuiiih, gudangnya makanan nih! "Eni, sebetulnya buat siapa sih sesaji ini?" "Ya, itu tadi buat Embah Jambrong," sahut Eni sambil menaruh baki perak itu di atas meja kecil di sudut goah. "Memangnya Embah Jambrong sukanya rujakan dan kopi pahit, ya Eni?" "Hmm...." "Embah Jambrong juga suka pisang emasnya, Eni?" "Iya, suka semuanya ini." "Suka semuanya? Baki peraknya juga nanti mau dimakan sama Embah Jambrong, ya Eni?" Eni tertawa kecil mendengar komentar saya. Diusap-usapnya rambut saya. Terasa penuh kasih sayang. "Iya, suka semuanya barangkali...." "Iiih, naha si Embah Jambrong teh mani tambarakan teuing? Gila pisan, nya Eni?!"
11 cetus saya pula sambil memonyongkan mulut. "Ssst, sudahlah. Jangan banyak tanya lagi. Ayo, kamu mau makanan apa? Pilih saja apa yang kamu suka." "Hmmm.... Kan baru makan goreng uli tadi. Dikasih Bibi Eha. Masih kenyang, ah!" "Ya, sudah. Kalau begitu, ayo kita keluar. Sudah magrib tuuuh!" ajaknya. "Eeeh, kok tadi Eni tidak sisakan rujakannya buatku?" tanya saya baru teringat lagi. "Kali ini tak ada sisanya. Lain kali saja, ya?" Tapi hati saya kecewa. Iya, biasanya saya bisa menikmati sisa rujakannya. Saya pergi ke dapur melihat lagi. Sudah tak ada apa-apa. Pasti Emih sudah membersihkannya, pikir saya. Kekecewaan itu begitu meruyak hati saya. Lantas tiba-tiba saja muncul ide konyol di otak kecil saya. Saat tak tampak lagi Eni, saya berlari kembali ke goah. Rasa takut yang biasanya menghantui sirna seketika. Entah perbawa rasa kecewa atau marah. Karena saya pikir, kok si Embah Jambrong itu serakah amat, ya? Mau semuanya! "Hmmm, hmmm, hmmm.... Sedaaap, hmmm!" Mulut saya berdecap-decap. Puas menikmati semua isi sesaji kecuali kopi pahitnya, saya pun keluar dari goah. Seperti tak terjadi apa-apa. Saya melenggang. Bergabung dengan adik-adik dan sepupu di sumur. Untuk mengambil air wudu. Esok paginya rumah menjadi gempar! "Gustiii, nuhun pisan! Mani diseepkeun kieu geuningan sasajen urang teh, Ibu?"
12 seru Emih "Enya, nya? Mani ledis kitu!"
13 kata Eni. "Itu tandanya sesajen kita sangat disukai Embah Jambrong," cetus Emih pula. "Benar, benar begitu.... Alhamdulillah, ya Emih. Tandanya hidup kita akan diberkahi oleh karuhun kita. Alhamdulilaaah!" Eni dan Emih dirubung-rubung oleh para cucu. Sebagian penasaran ingin tahu apa yang terjadi. Sebagian lagi merasa kebat-kebit. Sebab terdengar nama Embah Jambrong dan karuhun dibawa-bawa. Termasuk saya yang diam-diam bergabung. Kalau para sepupu dan adik-adik merasa kebat-kebit. Sebaliknya saya tidak demikian. Saya tertawa geli dalam hati. Kemudian saya merasa tak tahan lagi. Menyingkir sambil cengengesan. Ternyata kelakuan saya yang aneh itu tak luput dari perhatian Bapak yang sedang cuti. Tak berapa lama kemudian, Bapak menghampiri saya yang berlagak sibuk main undur-undur di kolong rumah. "Bapak yakin, kamulah yang menghabiskan suguhan di goah itu. Iya kan?" tanyanya menohok saya. Tentu saja saya kaget setengah mati! Wajahnya yang kereng alias keras dengan sepasang alis yang tebal. Suaranya yang berkharisma, berwibawa. Huuuu, siapa berani menantang Bapak? Taaa-kuuut, Bo! "Eeeh, kok Bapak tahu saja?" sahut saya sambil menundukkan wajah. Tak sanggup menentang matanya yang tajam bagai elang. Namun, tanpa dinyana, Bapak bukannya marah. Malah tertawa terbahak-bahak! Saya menengadah menatapnya. Air matanya sampai berleleran dari sudut-sudut matanya. Saya kebingungan. Tapi akhirnya saya jadi terpancing. Ikut tertawa geli. Untuk beberapa saat kami tertawa geli bersama. Untuk beberapa waktu pula kejadian itu menjadi rahasia kami berdua. Entah dengan pertimbangan apa, Bapak menyembunyikan hal itu dari Emih dan Eni. Ibu kandung dan ibu mertuanya yang suka bikin sesajen itu. "Ini baru putri Bapak. Putri seorang prajurit!" kata Bapak dalam nada bangga. Ditepuk-tepuknya bahu saya. Tepukan hangat dan sarat kasih sayang. Saya tahu itu.
8 kok 8 kan 9 leluhur 10 hantu 11 "Ih, kok Embah jambrongnya kemaruk banget? Menjijikkan sekali, ya Eni?" 12 "Tuhan, terima kasih sekali! Sampai dihabiskan begini sesajen kita, ya Ibu?" 13 "Iya, ya. Sampai habis begitu!"
KEMBALI KE ARTIKEL