Sabtu, 15 Maret 2008.
Ceritanya malam mingguan di Singapore. Berdua Butet, setelah rehat sebentar, kami pamitan kepada nyonya rumah. Kaget juga tuh beliauwati; Lia Yaniarti.
"Sungguh, berani pergi berduaan?" "Insya Allah, Dek, ada pengawalku yang tangguh, beranilah!” sahutku mantap. "Kita sering kok jalan-jalan gini, Mbak," sahut Butet mantap. Nah, baru saja kita turun dari apartemen di Canberra Road.
Mendadak timbul keraguan.
Butet yang sotoy bilang; "Ke mana yah, hmm, statsiun keretanya, Mom?" "Hoooh..." "Jangan panik, jangan..."
"Laaah... ada lagi... siapa yang panik?"
"Kita naik bus aja, oke Mom?" ajaknya, jelas di kupingku terdengar ragu. "Halaah... tanya sajalah... pake Inggrismu kenapa sih?"
Ada seorang engkoh-engkoh, Butet nanya deh pake eksus-eksus segala. Tahu-tahu dijawab tuh sama si engkoh; "MRT lurus saja terus ke sana..." Hihi... rasain loe!
Ternyata ada beberapa orang yang hendak ke MRT.
Kita berdua, Mom and Me yang niat backpackeran buat nulis buku ini, ngintil tuh di belakang para calon penumpang.
Butet beli tiket di mesin tiketnya.
Seneng banget dia, pas mo ambil kembaliannya, kayak kunjungan sebelumnya. Nah, ceritanya kita naik kereta asli Singapore punya.
Setelah dicermati, hadeuh, ternyata mulai kita lihat pemandangan yang gokiiiiillll!
Pasangan muda-mudi bermesraan, bahkan tanpa malu-malu mereka kiss by kiss...ieung! Bermain tuh lidah dengan lidah, malangnya posisinya, tepat di sebelah Butet!
"Gokil banget-bangeeeettttt!" Butet meloncat dari kereta.
"Woooiii... tunggu..."
Aku menahan rasa mual dan jengah bukan alang kepalang.
Kami berdua turun ceritanya di City Hall, langsung berbaur dengan manusia yang mburudul, bagaikan lautan menggelombang, Cuma ini berbentuk anak manusia.
Esplanade, nah di sini kita sempat jeprat-jepret (dengan noraknya!). "Ingat-ingat detilnya ya Nak, buat seting cerita kita!" Aku mengingatkan Butet. "Bereeesss!" Semakin masuk ke dalam, ternyata di di pinggir pantai itupun semakin banyak saja pasangan kasmaran yang, sumpe deh; beneran tinggal ML saja kayaknya! Maaf yah...daku mual habis di sini...stop sajalah!
"Mama lapar juga nih..." "Oke kita cari makan..." Di sebelah gedung durian (bentuk atapnya sperti durian) ada kafe-kafe. "Apa ini makanan halal?" tanyaku. "No, no halal..." Wow, hebat juga tuh pedagang, jujur yah!
Di negeri kita hatta, ketika ada usulan agar mencantumkan makanan No Halal di institusi yang terkait, langsung ditolak dengan alasan; itu tidak menjual! Akhirnya terpaksa juga kita makan di sebuah kafe; Malaya Food. Setelah kuecermati ternyata menunya adalah; soto Bandung, sate Padang, en soon.
"Euleuh-euleuh berani-beraninya tuh mengaku masakan Malaysia," dengusku kesal.
“Maksudnya bukan makanan Barat kaleee,” hibur Butet.
Saat kita makan, tiba-tiba Butet menghitung totalnya; "Ini semuanya 27 dolar Sin, Mom..." "Berapa?" "Sekitar 200 ribuan gitu deh..." "Hapsss... innalilahi!" seruku, mendadak makanan yang ada di mulutku serasa kesat. "Aduuuh...kayaknya dibawa pulang, eeh, minta dibungkusin aja..." Untunglah pedagangnya dengan ramah mau membungkus. Tapi tetap saja hatiku sebal dengan tulisan yang gede itu; Malaya Food!