Sebuah pesan whatsapp memecah keheningan, suaranya cukup tersamar oleh hujan yang sedari subuh tadi belum juga memberi tanda akan berhenti.
Segera aku mengirim balasan pesan yang datang dari Lina, sahabatku sejak kami duduk di bangku SMP, kami juga masih ada ikatan keluarga, Lina itu sepupuku. Rumahnya dan rumahku hanya berjarak beberapa meter saja. Kedua orangtuaku sudah tiada, mereka mengalami kecelakaan satu tahun lalu.
Setelah itu aku kembali memfokusnya diri menyelesaikan bacaan novel dari bunda Asma Nadia, kemarin mas Idam menghadiahkan ini sebagai kado ulang tahunku.
Tepat pukul empat sore aku bersiap ke rumah Lina setelah mas Idam membalas pesan singkatku untuk meminta izin. Mas Idam bekerja di salah satu instansi pemerintah, awal bulan begini ia selalu lembur, kadang pulang larut malam.
"Assalamu'alaikum," ucapku ketika hendak masuk ke rumah Lina.
Tidak menunggu dipersilakan, aku langsung masuk. Berkunjung ke rumah Lina sudah seperti kewajibanku setiap hari. Mungkin karena umur kami yang sama, sehingga kami nyaman saling berbagi cerita dan meminta pendapat. Aku bahkan tidak segan untuk langsung masuk ke kamarnya. Apalagi besok akan ada acara, sanak keluarga pasti berkumpul di sini.
Lina belum menikah, katanya masih ingin menikmati masa muda. Sering ia bertanya padaku, seperti apa rasanya berumah tangga. Kadang dia meledekku karena lebih sering ditinggal mas Idam bekerja.
"Wulan!" Lina memanggilku dari arah ruang keluarga. Rupanya di sana sudah banyak berkumpul keluarga seumuran kami, ada yang lebih tua dan sudah berumah tangga.
Para bibi sedang menyiapkan segala keperluan di dapur, yang masih muda mungkin tugasnya sebentar. Kami ingin melepas rindu dulu, kan jarang ada moment sepeti ini.
"Sabila...," aku berhambur memeluk dan menggendong anak dari salah satu kakak sepupuku. Rindu sekali aku dengannya, sudah dua bulan tidak bertemu. Kak Ria memutuskan mengikuti suaminya tinggal di kota lain setelah enam bulan LDR-an. Kalau bukan karena pekerjaan, suami kak Ria juga lebih memilih untuk tinggal di sini.
Anak-anak seumuran Sabila juga ada dan aku menyapa satu persatu sambil mengajukan pertanyaan singkat pada mereka. Kembali aku fokus pada Sabila karena memang aku merasa dekat sekali dengannya dan ingin melepas rindu.
"Anak orang mulu yang dipeluk, anak sendiri kapan?" ucap salah satu bibiku yang baru saja bergabung bersama kami dan mengambil tempat duduk di samping kak Ria.
Beberapa sepupuku acuh, sibuk dengan aktivitas mereka. Tapi beberapa lagi tertawa, mungkin mereka menganggapnya hanya candaan dan itu lucu. Aku tertawa kecil dan terus melanjutkan bermain bersama Sabila.
Pikiranku entah berjalan ke mana. Ada rasa sesak di dada, aku tidak begitu paham dengan perasaan ini. Entah marah, kesal, malu atau apa? Padahal sudah beberapa kali kudengar kalimat serupa, 'kapan punya anak?'. Tapi yang barusan kenapa begitu menyakitkan.
Aku dan mas Idam menikah dua tahun lalu tetapi belum dikaruniai buah hati. Kami rutin memeriksakan diri ke dokter dan katanya masih ada harapan. Anjuran dokter juga sedang kami terapkan, mulai dari mengatur pola makan sampai mengkonsumsi obat.
Ucapan bibi sungguh membuatku sedih, sejak hari itu aku semakin sensitif jika membahas soal anak.
"Biarkan saja! Banyak berdoa, ya sayang." Aku menceritakan kegelisan hatiku kepada mas Idam. Tidak banyak yang dia katakan, dia hanya memeluk dan menenangkan. Memang hanya itu yang aku butuhkan darinya saat ini.
Pada setiap sepertiga malam, aku mengadu pada Tuhan. Bercerita dan meminta kabar baik yang aku tunggu dari-Nya. Sedih rasanya setiap kali mendengar keluarga dan tetangga bertanya hal yang sama.
"Mas perhatikan kamu udah jarang ke rumah Lina, apalagi ngumpul bareng keluarga," ucap mas Idam saat kami hendak tidur. Malam ini mas Idam pulangnya sedikit lebih awal sehingga kami masih menyempatkan diri mengobrol ringan sebelum terlelap.
Sebenarnya Lina juga bertanya hal yang sama padaku kemarin. Katanya dia beberapa kali ingin menemuiku, tapi pintu rumah selalu tertutup. Sering ia mencoba mengetuk namun tidak ada jawaban.
"Gak apa-apa, Mas. Akhir-akhir ini aku hanya merasa kelelahan saja setiap habis beberes rumah," ucapku sembari meletakan kepala di lengannya dan memeluk mas Idam dari samping dengan erat.
Mas idam hanya tersenyum, mengecup keningku sekejap dan mengelus punggungku dengan tangan satunya. Tiba-tiba perasaan sedih itu muncul lagi, aku memejamkan mata dan membenamkan kepalaku di samping dada mas Idam. Seperti ada sesuatu yang mendesak ingin keluar dari mata ini.
Seolah mengerti, mas Idam justru semakin mengeratkan pelukannya dan mencium kepalaku berkali-kali, hingga akhirnya kami menjelajahi mimpi-mimpi yang indah di kegelapan dan kesunyian malam.
Sampai saat ini kami masih menanti kehadiran buah hati. Ketika penantian itu belum juga menemui harapan, mungkin Allah belum mempercayakan itu atau kesabaran kami sedang diuji dan Ia tidak ingin kami berhenti berdoa mengingat-Nya.
Hanya kepada-Nya kami berserah diri.