Kalau diibaratkan penyanyi, aku ini masih pengamen jalanan. Pengamen yang kadang-kadang manggung di acara pernikahan, sunatan ataupun ulang tahun. Laku, puas, tapi belum bisa memperoleh materi yang melimpah. Ketertarikanku akan dunia visual grafis, berawal dari rasa penasaran pada ilustrasi buku belajar membaca waktu kelas dua SD dulu. “Ini cara bikinnya gimana ya?” Rasa penasaran itu terus menghantui setiap langkah saya selanjutnya.
Kemudian secara ajaib ketika lulus SMA dan tidak bisa melanjutkan kuliah, aku bekerja di sebuah percetakan. Dengan posisi yang sangat cihuy, yakni tukang sapu. Bayarannya, cihuy pula. Gajiku sebulan cukup untuk membeli empat puluh botol teh Sos*o. Lain dari itu, yah cukup dikasih makan kenyang tiga kali sehari. Lalu aku naik jabatan jadi asisten operator cetak, terus akhirnya jadi operator cetak. Puas? Belum. Karena bukan di sini hasrat saya. Aku ingin menjadi seseorang dibalik sesuatu, bukan hanya tukang.
Dengan berbagai lika-likunya akhirnya aku bermuara pada sebuah profesi yang boleh dikatakan, “Ini lho yang aku cari”. Puas? Belum juga. Sebab posisiku saat ini—menurut isilah sebuah e-magz gitu, masih dalam dikotomi otodidak - atautidak. Aku memang belajar rancang grafis secara otodidak. Lewat buku, majalah, internet, dan tanya-tanya pada orang yang berpengalaman di bidangnya. Menurut anggapan sebagian orang, yang otodidak biasanya kurang mengerti tentang psikologi warna, nirmana, atau macam-macam istilah desain grafis lainnya. Sedangkan yang atau tidak (baca ; lulusan universitas, anak-anak DKV) lebih pede untuk mengaktualisasikan karya-karyanya karena mereka merasa lebih punya otoritas untuk menunjukkan diri.
Yang otodidak juga sering hanya dicap sebagai ‘tukang’. Karena memang biasanya ruang lingkupnya terbatas hanya sebagai tukang setting undangan di percetakan. Kalaupun seumpamanya berhasil mendesain brosur ataupun logo, maka harga yang didapat amat kecil.
Tapi, seperti aku bilang tadi, aku memang masih pengamen, tapi ingin menjadi legend. Seperti Iwan Fals. Dan yang aku lakukan saat ini adalah usaha untuk mewujudkan mimpi saya—meminjam istilah film-film kartun--menguasai dunia!. Menguasai dunia berarti meninggalkan tanda pada dunia, sekecil apapun. Menyusun satu demi satu puzzle mimpi, sambil melakukan aktifitas yang sangat yummy yaitu, membaca, menggambar, menulis, dan bercinta. Sehingga kelak sejarah mencatat dengan sangat manis bahwa Pinsil Tempur pernah ada dan mewarnai dunia. Atau kami menyebutnya, meninggalkan tanda.