Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Terima Kasih, Sayangku

23 Maret 2014   21:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 106 0
Hari ini Minggu. Jakarta sekitarnya di mana aku saat ini berada bernada mendung. Sejak kemarin.

Sejak aku bergabung di Kompasiana ini sebulan lalu tulisanku yang baru beberapa keping berkisar tentang lagu dan musik.

Aku memang suka lagu, suka musik. Sangat mungkin ibuku (kami memanggilnya dengan sebutan 'Mami' yang diajarkan Bapak kami) dipenuhi suasana musik saat mengandung diriku. Apa dengan menyanyi sendiri atau bersama Bapakku yang saat ini sudah almarhum yang kami tau memang sangat menguasai musik dan sejak masa muda hingga akhir hayatnya aktif dalam kelompok paduan suara di gereja sebagai dirigen. Atau sering mendengar radio dengan lagu-lagu yang disukainya. Kajian ilmiah terkini mengatakan janin dapat mendengar suara percapakan ibunya maupun suara lain dari perut ibunya dan mereka meresponnya. Saya percaya itu.

Merasa bahwa membicarakan soal musik masih banyak yang bisa dikupas, tulisan ini pun masih berkisar musik.

Ada sebuah rangkaian nada yang sangat saya sukai sejak usia belia di masa bersekolah di SD di Pematang Siantar, kota kedua terbesar di Sumatera Utara. Cukup sering di putar di program khusus musik instrumentalia dan kadang sebagai musik penutup siaran radio di sana. Saat itu saya tak tau itu musik judulnya apa. Kalau pun pernah disebut sang penyiar namun luput dari daya tangkap intelektual saya saat itu.
Sekarang, saat arus informasi begitu mudah diakses saya dapat tau kalau instrumentalia itu berasal dari lagu bersyair. Judulnya 'Merci Cherie'. Tak mengherankan aku mendengarkan alunan nadalagu ini di masa kecil saya karena lagu ini merambah dunia tahun 1966 melalui ajang Eurovision Song Contest yang mendunia. Saat itu aku berusia 5 tahun. Saya merasa sangat terwakili oleh rangkaian nada indahnya. Laksana keindahan yang melayang-layang di angkasa menggapai segenap insan ciptaan Tuhan. Bergerak kesana menyingkapkan satu bentuk keindahan. Bergerak ke sini membentuk keindahan yang lain. Akh, saya jadi berilusi kalau itu adalah sosok seorang dewi yang mempesona di awan-awan namun sungguh dekat untuk dapat dilihat oleh mata. Kainnya yang tersibak sesekali ditiup angin memberi ruang untuk mata menikmati indah betisnya. Hanya betis yang terlihat dan itu puncak keindahannya. Tak perlu lebih.
Sekarang pula, di era internet ini saya dapat memuat ulang video tahun 1966 nya :

http://www.youtube.com/watch?v=DQZZJIIt9tA&feature=kp
(sumber : Youtube)

Judul lagu ini 'Merci Cherie' dalam bahasa Perancis namun syairnya dalam bahasa Jerman demikian:

Merci
Merci
Merci für die Stunden Cherie

Cherie
Cherie uns're Liebe war schön
so schön

Merci Cherie
sei nicht traurig muß ich auch von dir geh'n

Adieu
Adieu
Adieu
deine Tränen tun weh
so weh
so weh

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun