Paling tidak ada tiga respon keputusan yang dibuat oleh pasangan-pasangan tersebut, sepanjang yang saya alami. Pasangan yang memutuskan untuk menikah, masalah status tampak menjadi lebih jelas dan tidak menjadi pergunjingan lebih lanjut, tetapi setelah anak lahir, bahkan pada masa menjelang anak lahir saja, konflik-konflik dalam pernikahan menjadi warna sehari-hari. Mulai dari masalah share tanggungjawab, masalah ekonomi, hingga kecemburuan-kecemburuan yang tidak logis, terus menerus mendera bahtera rumah tangga yang memang tidak benar2 dipersiapkan berlayar, tetapi seperti dipaksa berlayar meski belum sempurna. 1 atau 2 tahun, biduk itupun kandas dengan perceraian, atau status yang menggantung tanpa kejelasan. Anak yang lahir, menjadi korban karena setiap hari menyaksikan pertengkaran orang tuanya.
Ada pasangan yang kemudian memilih untuk tidak menikah, karena konflik antar keluarga, atau karena pihak laki2 lari dari tanggungjawab, sehingga pihak perempuan memutuskan untuk menjadi single parents. PIlihan ini pun memiliki konsekuensi yang tidak mudah juga. Kecuali pihak keluarga perempuan sangat suportif dan berani membayar harga, dengan tidak lagi malu pada lingkungan, tidak menyembunyikan, tetapi belajar menerima realita yang terjadi, kemudian membantu anak perempuannya untuk belajar menjadi ibu, sekaligus tetap melanjutkan studi untuk masa depan, maka pilihan menjadi single parents akan terasa sangat berat dan berpotensi membuat frustrasi. Sekali lagi, yang menjadi korban adalah sang jabang bayi, yang kemudian dibesarkan oleh seorang ibu yang secara mental mengalami tekanan, sehingga tentu kurang optimal dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak, menjadi anak yang sehat fisik, mental dan spiritual. Anak juga berpotensi kehilangan figur ayah, yang tentu menjadi tidak ada, kecuali ada figur pengganti dari kakeknya.
Pilihan lainnya, bagi pasangan yang tidak berani mengungkapkan pada orang tua, memilih untuk melakukan aborsi. Tentu resiko fisik tampak nyata, jika proses aborsi dilakukan tanpa prosedur medis yang terjamin, oleh petugas medis yang memang kompeten, maka nyawa dari sang ibu pun terancam. Kalaupun proses aborsi berhasil, dampak psikis yang terjadi pada sang ibu, tidak dapat dihindari. Dikejar dengan rasa bersalah, rasa berdosa, merasa diri tak berharga sebagai perempuan, merupakan beberapa perasaan yang bergejolak dalam hati seorang perempuan yang memilih aborsi sebagai jalan keluar atas kehamilan yang tidak diinginkannya.
Dibalik ketiga pilihan itupun, tentu sisi akademis dari seorang mahasiswa akan terganggu, meski ketika pertama kali menginjakkan kaki di Perguruan Tinggi, tentu tujuan menyelesaikan studi adalah tujuan utamanya.
Berefleksi pada pengalaman-pengalaman ini, saya berkesimpulan, bahwa pilihan apapun yang diambil untuk kehamilan di luar nikah, atau kehamilan yang tidak diinginkan dalam kehidupan mahasiswa, semuanya membawa konsekuensi yang berat. Tidak ada pilihan yang paling benar, dalam menolong mahasiswa dengan masalah ini, perlu dilakukan proses pertimbangan yang matang dan menyeluruh.
Satu kunci saja yang saya usulkan, dukungan dari keluarga terhadap pasangan mahasiswa yang mengalami kehamilan di luar nikah, mutlak di perlukan. Tanpa adanya support itu, mereka dapat terjebak untuk membuat keputusan yang salah, setelah sebelumnya juga terpeleset hingga jatuh dalam kondisi dilematis ini.