Apalagi pada saat proses swastanisasi terhadap perusahaan Negara terkesan dipaksakan hanya membuat senang “Wall Street” agar memiliki jalan mulus untuk melakukan perampokan asset strategis Negara lewat proses privatisasi.
Pada dekade 1990 Konsensus Washington masih memiliki era keemasan dan dianggap salah satu jalan utama menuju kemakmuran. Banyak Negara-negara yang pada awalnya tertipu seperti Indonesia, Thailand, Rusia, Korea Selatan dan Negara-negara Amerika Latin.
Kita mungkin masih ingat control harga-harga 9 bahan kebutuhan pokok yang semula dilakukan oleh ketika Badan Urusan Logistik (Bulog), tetapi sekarang sudah diserahkan kepada pasar.
Berbagai bahan pokok tersebut meluncur bebas dari pasar internasinal ke pasar dalam negeri dengan harga yang bersaing. Termasuk didalamnya adalah impor tepung terigu, kedelai, jagung Amerika Serikat yang membanjir ke Indonesia. Demikian juga daging, susu dan sebagainya.
Kita juga mungkin masih ingat ketika Bank BCA yang sudah distrukturisasi dan disuntikkan dana yang sangat besar hamper 60 Triliun ternyata oleh IMF dipaksa dijual dengan harga sekitar 5 Triliun saja. Coba bayangkan dengan bail out yang dikeluarkan untuk bank sekecil Bank Century yang sampai 6,7 Triliun. Padahal Bank BCA adalah bank terbesar di Indonesia pada masa itu.
Di Rusia melalui saran IMF, Presiden Yatsin waktu itu melakukan swastanisasi terhadap sector energy. Perusahaan Negara yang bergerak di bidang pertambangan minyak, gas dan lainnya diswastanisasi. Perusahaan tersebut berubah menjadi kelompok bisnis, termasuk pebisnis yang dekat dengan Presiden Yaltsin. Pada masa itu bermunculan berbagai oligarki yang menguasa komiditas tertentu.
Joseph E. Stiglitz seorang peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001 menulis artikel yang berjudul “What I Learned at the World Economic Crisis: The Insider” yang dimuat The New Republic, pada 17 April 2000. Ia adalah seorang ekonom dan mantan Wakil Presiden Bank Dunia periode 1997 – 2000.
Seperti juga yang ditulis di bukunya juga yang berjudul “Globalisation and its Discontent” mengatakan IMF itu arogan dan tidak mau mendengar opini Negara berkembang yang sedang dalam perawatannya. IMF tidak menempatkan sebagai lembaga demokratis yang bersedia mendengar dan menerima saran lain.
Menurut Stiglitz bahwa semua tuduhan para demontran dunia, relative benar adannya. “Selama berlangsungnya krisis ekonomi global terparah dalam setengah abad terakhir (decade 1990-an), saya melihat bagaimana reaksi IMF dan Departemen Keuangan AS. Saya sungguh tercengang,” kata Stiglitz.
Dekade 1990-an merupakan decade Negara-negara di Asia melakukan deregulasi pada sector keuangan. Hal ini kata Stiglitz dilakukan bukan karena Negara-negara itu termasuk Asia Fasifik, perlu menarik dana-dana asing. Deregulasi itu dilakukan karena tekanan IMF dan Bank Dunia. Termasuk juga tekanan Washington.
Rencananya deregulasi itu membuat Negara-negara kemasukan modal, tetapi nyatanya hanyalah hot money untuk menggaet bunga Bank Sentral. Bank Sentral harus menyediakan dana ekstra untuk para pemilik uang tersebut.
Uang tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai investasi karena dalam jangka pendek bisa keluar kembali dengan cepat, dan dapat merontokkan mata uang Negara bersangkutan.
Hal ini juga terjadi di Indonesia, yang berdasarkan saran IMF menggunakan floating point untuk menentukan nilai kurs mata uangnya. Bank Sentral juga harus siap mengekpansi pasar jika suatu waktu banyak dana keluar dan nilai dolar dapat naik kapan saja. Pengelontoran dolar ke pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia misalnya sudah banyak menguras devisa kita, ini contoh bahwa saran IMF itu malah membuat kita semakin sulit. Anehnya kebijakn ini malah sampai sekarang masih saja digunakan.
Di Amerika Latin pada decade 1980-an, pemerintahnya menjalankan anggaran Negara dengan deficit yang begitu besar, melebihi 3 persen dari produk domistik bruto (PDB). Ini artinya akan terjadi peningkatan hutang pemerintah. Di sisi lain IMF mengharuskan agar melonggarkan sector moneter . Peredaran uang yang terjadi tidak diimbangi dengan peningkaran sector ril. Jelas hal ini akan mendorong inflasi.
IMF juga menggunakan kebijakan di Amerika Latin untuk juga diterapkan di Thailand, demikian juga di Indonesia, padahal setiap Negara memiliki kondisi perekonomian yang berbeda. Menurut Stiglitz para anggota staf IMF sebenarnya tidaklah lebih pintar dari ekonom Negara-negara yang terkena krisis. Para senior di IMF tidaklah demokratis dan terlalu konservatif.