Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Teman Baru

26 Mei 2011   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:12 59 0
Udara di sini membuat seluruh tubuhku berkeringat. Panas. Matahari bersinar memancarkan panasnya seperti tak peduli pada orang-orang di sini yang semakin kegerahan. Memang beda dengan tempat asalku di Kalimantan di Jawa lebih panas. Tak tahu mengapa padahal dari garis khatulistiwa lebih dekat Kalimantan daripada Jawa. Tetapi untung saja aku mempunyai ibu yang selalu di dekatku, siap melayani apapun kebutuhanku dan bagaimanapun keadaannya.

“Sss…..t, jangan menangis terus!” Ibuku mengibaskan kipas di tangannya sambil mengendong aku. Aku ingin bicara banyak padanya tetapi kalau aku bicara ibu selalu menanggapi dengan perkataan :”Jangan menangis!” dan dikiranya aku lapar. Disodorkannya sebotol susu ke mulutku. Aku tak mau minum. Aku tak lapar. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa sayangku padanya.

“Dari tadi nangis terus, sini gantian , biar aku yang gendong. Anak manis sama bapak, ya!” Kali ini aku pindah tangan. Ayahku sangat baik, kadang diceritakannya tentang bebek, tentang rosul, tentang islam dan masih banyak lagi. Beliau selalu mengatakan, “Besok kalau sudah besar harus jadi orang yang bertakwa, berbakti pada orang tua.” Begitu katanya.

Aku dibawa keluar oleh bapakku. Aku diam, soalnya kalau ngomong akan membuat ayah dan ibuku sedih dan murung. Udara lebih segar di luar. Banyak pepohonan, itulah yang aku suka di Jawa. Di Kalimantan juga ada pohon tetapi beda dengan di sini. Di sini pohonnya kecil-kecil, aku bisa menyentuh ujungnya, itupun kalau ada yang menolongku. Sementara ayahku terus berjalan melewati halaman, masuk ke jalan depan rumah lalu belok kiri. Aku mengamat-amati pemandangan di sekitar jalan.

“Lihat. Orang-oranmg sedang gotong-royong.” Sambil memutar badan ayah menghadapkan mukaku ke orang-orang di jalan yang sedang ramai. Rupanya ini yang dinamakan gotong-royong. Sangat beragam pekerjaan mereka. Ada yang mengambil pasir, menata batu, ada juga yang banyak omong, tuding sana tuding sini.

“Yang menunjuk-nunjuk iu pemimpinnya, Nak. Kalau sudah besar kamu juga harus jadi pemimpin. Jangan hanya jadi kacung yang kerjaannya hanya diperintah orang.” Kami berhenti di atas jembatan, kira-kira lima meter dari orang-orang yang sedang gotong-royong. Aku terus mencoba menangkap apa yang dikatakan ayah.

Kuperhatikan mereka sangat bersemangat. Diantara orang-orang itu terlihat seorang anak, tapi agaknya aneh. Celananya pendek hitam dan telanjang dada. Ia juga memperhatikan orang-orang tapi tak ikut bekerja. Aku memperhatikannya dari jauh.

Lama-lama tahu juga ia kalau aku memperhatikannya. Ia mendekat ke sini. Aneh, kenapa ayahku sepertinya tak peduli pada anak ini, biasanya kalau ada orang asing mendekatiku beliau langsung menyapa dan memperkenalkannya padaku. Semakin dekat wajahnya tampak jelas dan ia beda dengan kebanyakan orang yang kukenal.

“Hei, siapa kamu?” tanyanya

“Kamu ngomong denganku?”Aku balik tanya.

“Siapa lagi?”

“Kok kamu bisa ngerti omonganku, orang tuaku aja tidak.” Tanyaku keheranan

“Orang tua kan jahat. Ia memaksa anaknya untuk menuruti setiap perintahnya.”

“Orang tuaku baik. Emangnya siapa sih kamu. Kok bisa ngerti setiap omonganku.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku.”

Aku Hafiz, dari Kalimantan. Aku ke sini untuk mengunjungi kakek dan nenekku, mereka orang baik.”

“Pantesan aku baru lihat kamu. Mau nggak jadi temenku. Nanti tak ajari banyak hal.”

“Boleh. Aku senang, selama ini tak ada yang bisa menanggapi omonganku, baru kali ini ada anak yang seperti kamu.”

Ayah tak bicara apapun tentang anak ini, melihat pun tidak. Yang diperhatikannya hanya orang-orang yang sedang gotong-royong sambil sesekali mengucapkan sesuatu tapi aku tak memperhatikannya soalnya teman baruku ini mengajak ngobrol terus. Ayah selalu bilang, jangan asal memilih teman. Cari teman yang baik dan beriman. Aku tak tahu anak ini baik dan beriman atau tidak tetapi yang jelas ia sangat menyenangkan , bisa main sulap juga.

Kadang ia berbalik ke belakangku hingga tak bisa kulihat tetapi tiba-tiba muncul di tengah-tengah orang yang sedang gotong-royong lalu muncul lagi di belakang. Memang istimewa anak ini. Tapi ia sering menjelekkan orang tuaku bahkan aku disuruhnya tidak menaati semua perintahnya. Orang tuaku kan baik, belaku. Ia tak menggubrisnya.

“Sudah sore. Pulang, yuk. Nanti kamu masuk angin.” Ayah berbalik lalu berjalan mendekati rumah. Anak yang tadi mengikuti. Lari ke depan, muncul lagi di belakang. Ia juga menghiburku dengan kalimat :”Ci………Luk…………..Ba………..” aku tak tahu maksudnya tapi ia sangat lucu, membuatku tertawa. Ayah juga ikut tertawa melihatku tertawa.

“Ini rumahmu?” Tanyanya kepadaku.

“Tepatnya rumah kakekku.”jawabku. ia kelihatan murung. Kegirangannya yang tadi menghilang. Kadang ditutupi matanya dengan kedua tangan mungilnya seperti orang yang silau ketika menatap langsung sinar matahari.

“Kakekmu siapa sih ?”

“Ia takmir masjid ini. Beliau sangat taat beragama. Setiap habis maghrib dan subuh beliau selalu mengaji, menenangkan hati. Ketika aku sedang marah, mendengar lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan beliau membuat hati luruh dan kemarahan pun akhirnya hilang. Kamu pasti senang melihatnya.”

“Aku tak suka pada orang yang beriman. Aku tak suka orang membaca Al-Quran, membuat kupingku sakit.”

“Mengapa begitu?”

“Karena aku tak suka.” Sepertinya dia agak marah. Wajahnya memerah.

“Ayo ikut masuk.” Diam. Tapi akhirnya ikut juga masuk. Ia mengendap-endap seperti maling saja. Sikapnya kali ini seperti orang yang sedang dalam medan pertempuran. Tengok sana, tengok sini.

“Mengapa kamu seperti itu?” tanyaku

“Aku takut.”

“Kenapa mesti takut. Ini rumahku dan kau kuijinkan masuk.”

“Bukan itu. Di rumah seperti ini aku tak bisa menyepelekan. Ada yang menjaga agar orng-orang seperti aku tidak dapat masuk.” Aku tak mengerti. Ini rumahku dan tak ada siapa-siapa selain keluargaku. Apa maksudnya penjaga?

“Kok berdiri di situ. Ayo ikut.”

“Aku tak berani. Kamu saja yang menemaniku di sini. Jangan ikut ayahmu!!”

“Aku tak bisa.”

“Kamu harus menemaniku!!” Ia agak marah. Kutinggalkan ia di emperan rumah bersungut-sungut.

Sepertinya bukan main-main perkataannya itu . ia tak mau pergi dan terus memaksa agar aku menemaninya. Aku tak berani ngomong banyak-banyak karena nanti akan didengar ayah dan ibuku sebagai sebuah tangisan. Aku berusaha menahan tetapi ia terus merayuku dengan berbagai macam perkataan.

“Aku sudah menemanimu tadi kenapa sekarang kau tak mau menemaniku?” Katanya. Ia berusaha agr aku mengatakan sesuatu. Semakin lama ia semakin marah saja. Aku mulai agak takut.

“Kau pergi saja!!” Pintaku.

“Tidak. Aku takkan pergi sebelum kamu mau menemaniku.”

Ketakutanku agak berkurang ketika kakekku membaca Al-Quran sehabis sholat maghrib. Ia pergi, entah benar-benar pergi atau cuman menghindar sebentar. Hatiku agak tenang mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh kakekku.

Tak berlangsung lama ia datang lagi. Kakek sudah selesai. Kali ini wajahnya berbeda dengan yang tadi, lebih menyeramkan dan kelihatan bengis. Aku takut, takut sekali. Tak tahu harus berbuat apa, aku teriak-teriak, minta tolong pada orang-orang yang ada di rumah ini.semakin keras aku berteriak karena perangai anak itu telah berubah seratus delapan puluh derajat.

Keadaan pun menjadi kacau. Semua orang tertuju padaku, tapi tak ada yang mengerti ucapanku. Yang mereka dengar hanya tangisan bayi berumur kurang daru 1 tahun. Tapi aku harus berbuat apa? Diam aku tak sanggup, sikapku semakin tak karuan. Digendong ibu tak mau, ayah tak mau, kakek tak mau. Disodori susu aku pun tak mau karena memang bukan itu masalahku.

Malam semakin larut dan aku terus berusaha minta tolong. Keadaan dalam keluarga ini semakin kacau saja. Semua memandangku dengan pandangan rasa kasihan melihat seorang bayi penuh air mata. Sementara anak yang di luar kadang mengumpatku, lalu menunjukkan wajah seramnya.

“Gimana ini, Pa? sudah jam sepuluh malam anak kita belum juga tidur. Nangis terus dari tadi sampai matanya merah.” Berulangkali ibu mengusap keningku yang basah oleh keringat.

“Apa dia sakit?” Tanya ayahku, sambil duduk di samping ibuku.

“Kemarin kan baru ke dokter?”

“Lalu apa? Kasihan dia, dari tadi sore nangis terus.”

“Coba sini kakek yang gendong. Jangan nangis terus ya anak baik.” Diangkatnya tubuh kecilku oleh kakek dan diajaknya keluar. Aku semakin takut dan suara tangisanku semakin keras. Aku mencoba menolak untuk keluar rumah, takut kalau anak itu melakukan sesuatu yang buruk terhadapku.

“Tak mau keluar, ya?” Tanya kakekku. Aku tak menjawab. Sepertinya kakek mengerti sesuatu melihat gelagatku. Beliau  membisikkan sesuatu pada telinga kananku, sangat lirih sehingga aku pun tak mendengarnya. Aku dibawa keluar lagi. Aku berontak.

“Anak ini tak mau ikut denganmu. Jangan memaksanya. Pergi saja sana sebelum aku mengusirmu!!”

Kakek tahu keberadaan anak itu tapi beliau tak bisa melihatnya. Kulihat pandangannya salah saat bicara tadi. Anak yang di luar takut juga mendengar perkataan kakek. Seperti dikejar anjing ia lari terbirit-birit tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku diam. Dan semua orang di rumah ini pun menunjukkan kegembiraannya. Aku lelah karena sedari tadi menangis dan semua orang pun lelah. Sampai jam sebelas malam saat ini menungguku, menangis tak tahu sebabnya. Sudahlah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak sembarangan berteman, salah-salah membuat celaka pada diri- sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun