Malamnya di tanggal 7 Januari itu ku-packing barang-barangku mulai dari sleepingbag, charger, sendal, baju, celana, dan makanan kumasukkan menjadi satu dalam kerirku yang hanya berkapasitas 35 liter terasa kecil pikirku apalagi rencana kami berdua akan menghilang selama 3-4 hari, tapi ah.. sudahlah bodo amat pikirku paling bajuku akan kupakai berulang-ulang. Karena besoknya akan berangkat akhirnya sekitar jam 7 malam aku menuju kosan Jul untuk bermalam disana saja supaya besok kami cepat berangkat dan juga agar dia tak menunggu sendiri dikosannya karena hari itu sedang musim KKNM (kuliah kerja nyata mahasiswa) di kampus sehingga Jatinangor sudah seperti kota yang hilang gairahnya, pikirku. Langsung saja aku pamit kepada ibu dan adik-adikku sambil kuminta adikku Ryan mengantarkan kedepan (jalan raya) dengan motor supaya tak terlalu sulit rasanya karena tenda dan kompor pun kujinjing begitu saja dan sisa perjalanan akan kuteruskan dengan menaiki angkutan umum. Akhirnya kira-kira setengah jam perjalanan aku sampai di depan gang Hegarmanah setelah sebelumnnya angkot yang kunaiki mengoper-ngoper diriku yang sedang sulit membawa banyak barang-barang ini.. Ah sudahlah tak boleh mengeluh pikirku sambil berjalan kaki menuju kosan Jul dan kedua tangan memegang tenda dan kompor dan menggendong kerirku aku bersemangat untuk hari esok.
Sesampainya di kosan Jul langsung kulepaskan segala beban yang menempel di badan dan tangan ini, bebas rasanya setelah perjalanan tadi kurasa sangat berat juga lumayan lah itung-itung pemanasan,
sambil aku berbasa basi dengan Jul menanyakan keberangkatan esok harinya, "Kemananya kita nak besok apa tak ke Cikuray saja kita merasakan samudra awan itu?" tanyaku sambil menggunakan logat ke-batak-kanku mengingat gunung ini pun berada di Garut.
"Ah sudahlah seperti rencana dulu saja naik ke Papandayan sajalah berdua, tadi Ahmad kuajak (teman kuliahku) tapi katanya masih di Sumedang dia kayaknya nggak ikut" Ungkap jul dengan datar, lalu jawabku agar tak terlalu garing "Ah mungkin mau ketemu pacarnya besok libur kerja mungkin pacarnya biasalah kayak tak kenal dia saja kau ini" sambil kubalas dengan senyum tipisku. Lalu karena kurasa lelah dan memang kondisi perut yang belum terisi akhirnya kuajaklah Jul untuk makan dan setelah makan akan berkunjung kekosan Suwatno (Subang) dulu untuk mengajaknya besok mendaki padahal rencana mendaki Gunung Papandayan ini terhitung sangat mendadak sekali. Setelah selesai makan akhirnya aku dan Jul berjalan menuju kosan suwatno tidak terlalu jauh dari kosannya Jul, sambil merasakan sepinya Jatinangor hanya dilalui beberapa orang dan motor yang biasanya banyak mahasiswa dan mahasiswi cantik lalu lalang kini seolah ditelan ombak di laut Pangandaran menjadikan sekitaran Jatinangor sepi. Setelah sampai kosan sohibku Suwatno aku membuka percakapan seperti biasa cara khasku untuk membuat temanku tersenyum duluan, biasanya aku selalu menanyakan hal-hal konyol bahkan tak terpikirkan oleh temanku, misalnya "naha maneh liburan didieu no, pan eweuh pantai didieu mah" atau no tumben ka nangor biasa oge di imah hahaha. Tapi setelah banyak berbincang-bincang denga Suwatno dan kebetulan ada temannya disitu Suwatno memberikan jawaban yang tak memuaskan bagiku (hehehe berlebihan dalam menulis tak apa) katanya ia tak bisa karena esoknya ia pun akan pulang ke Subang karena baru pulang dari Jakarta tadi siang. Ah yasudalah kukatakan kepada Jul mungkin besok kita mendaki berdua saja supaya lebih bisa mendapatkan makna dari apa itu "mendaki" pikirku siapa tau mendapat inspirasi menulis seperti Soe Hok Gie, meskipun teman-temanku mengatakan mendaki gunung tersebut tak sulit treknya dan terhitung dekatlah sekitar 2-3 jam untuk mencapai tempat nge-camp Pondok Saladah.
Waktu menunjukkan jam 10 malam dan kami berdua pun beranjak dari kosan Suwatno menuju kosan Jul untuk segera tidur, tidak disangka saat kami sedang berjalan sambil mengobrol dari jauh terlihat seorang teman menggunakan jaket parasut dengan celana sontog dengan wajah hitam manis dan senyum yang selalu menempel dibibirnya yang warnanya hampir menyerupai kulitnya, lalu kudatangi dia dengan cepat pas sekali depan rumah makan dimana aku sering makan dengan temanku yang lain (Yogi), kulihat dan langsung kubuat percakapan singkat
"eh Warrrnoto!! kemana kau War dihubungi sejak kemarim tak ngebalas saja, aduhh" lalu dengan wajah tanpa dosa dan dengan senyum lebar namun tidak memperlihatkan giginya yang kontras dengan kulitnya berkata
"aduh maaf yer paket habis jadi nggak sempat balas kemarin" lalu dengan cepat Jul memotong pembicaraan "kami besok mau ke papandayan berdua sama pier, ikut kau kau war?"
dengan rayuan busukku pun ku ajak dia tanpa sempat ia menjawab dahulu "ayolah war kan kau nggak pulang ke Indramayu sudahlah ikut kami saja, ada edelwies disana treknya tak sesulit Ciremai kok"
lalu dengan wajah agak sedikit mikir namun tetap dengan pasang senyum Warnoto pun mennjawab dengan logat agak kejawaan namun tetap memposisikan sebagai orang Indramayu "ah yauda.. aku ikut tapi aku mau ke pedro (nasi goreng) dulu makan lapar nih"
lalu aku dan Jul saling memandang dan Jul mengatakan "ah yauda ayo ku antar saja kau war, sekalian kekosan mu nnti packing barang-barangmu"
dengan senyum yang terpasang sebelum menjawab "iya jul ayo aja nggak kerjaan juga dikosan cuma main dota aja tadi sama temen kostku" begitu jawab temanku ini.
Akhirnya setelah selesai kami antar makan warnoto dengan posisi menjaga dia supaya tak berubah pikiran kami antarkan juga kekosannya hehehe, ya maklumlah Warnoto ini orangnya kadang agak sulit diajak ya layaknya kami berdua seorang bapa kami atur barang-barang apa saja yang akan dibawa, padahal sebelum mendaki gunung papandayan ini Warnoto sudah beberapa kali mendaki dan menurutku pernah hampir mengalami hipotermia di Gunung Ciremai saat akan melihat sunrise di pagi hari (tunggu dikisah selanjutnya Ciremai 3078 mdpl).
Esok paginya tanggal 8 Januari 2015, kami bangun jam 7 pagi (kesiangan karena semalam tidur sudah larut) akhirnya kami buru-buru mandi dan mempersiapkan segala sesuatunya termasuk beras, mie instan dan sarden. Pukul 9 kami menaiki elf tujuan Cikajang, Garut mengingat kami akan turun di Cisurupan daerah pendakian menuju Gunung Papandayan sambil melihat sekitar hijaunya sawah di ladang melalui kaca mobil yang kami tumpangi kami pun disuguhi pemandangan Gunung Cikuray yang begitu menawannya dengan dibalut awan-awan cantik dan cuaca yang cerah ditutupi langit biru, terlihat hampir seperti segitiga gunung tersebut pikirku, sambil Jul melempar pembicaraan "kesana kita sekarang nak? hahaha" dengan cepat kukatakan "nantilah aku pengen nge-papandayan dulu biar kekinian hahaha" karena teman-temanku sudah banyak yang kesana dan menceritakan kawahnya yang begitu cantik saat kulihat difoto dan juga Tegal Alun yang menjadi gudangnya edewies di Papandayan. Akhirnya dengan ongkos elf sekitar 25 ribu-an dari Jatinangor kini kami harus nego lagi dengan tukang ojek disana karena saat kami turun dari elf dengan cepat mereka langsung memancing kami dengan rayuan gombal ala tukang ojek "de Papandayan kan? yuk sekarang 35ribu aja" ditambah tukang ojek yang lainnya melihat kami seperti layaknya harta karun yang sudah lama hilang dan akhirnya ditemukan di Mesir sana, pikirku. Karena kami bertiga agak kelelahan dan hari terasa begitu panas saat kulihat jam ternyata sudah jam 1 siang, akhirnya kami bertiga sepakat untuk duduk sekitaran pangkalan dan menentukan harga yang cocok untuk naik ojek kesana sambil sesekali kubalas bbm dari seseorang yang begitu berharga dalam hidupku. "ah sudahlah kemarin kata Rian (teman kuliahku) 25ribunya ongkos naiklah kita kalau tak mau sudahlah pura-pura pergi saja"
Julkifli dengan semangatnya menjawab "ia panas lagi cuacanya ayolah naik keburu sore kita sampai nnti belum tau pun jalannya kita" Warnoto pun kembali melempar senyum manisnya menunjukkan bahwa ia setuju sambil ia teguk air minumannya dengan botol made in Swissnya itu. Lalu dengan berani kutawar ojek tersebut dengan posisi terburu-buru sampai akhirnya deal dengan harga 25ribu tapi pulangnya kami harus menumpangi ojek yang sama. Tak apalah pikirku sama saja kurasa karena kata temanku untuk harga segitu sudah pas-lah untuk kami. Sesampainya di pos 1 atau tempat pemberhentian segala kendaraan dan juga sebagai tempat pendaftaran juga pengecekkan barang-barang kami benar-benar beruntung hari begitu cerah mempesona seolah-olah ini adalah kado liburan kami, padahal hari sebelumnnya cuaca sangat mendung dan sering diguyur hujan. Sialnya adalah peraturan di Gunung Papandayan ini tidak boleh membawa golok karena alasan satu dan lain hal dan akhirnya golok kami disimpan sementara sampai kami pulang kembali dan lapor ke pos1, tapi kami diberitahu tak usah takut kekurangan air karena sumber air sangat melimpah disana katanya. Akhirnya kami mulai pendakian sambil sebelumnnya kami berdoa supaya kami mendaki bisa belajar sesuatu dan pulang tanpa kurang suatu apapun.
Langkah kaki kami bertiga mulai kami tancapkkan di batu-batu masih sekitar pos 1, kami mulai berjalan dengan sambil berfoto-foto ria tak kusangka indah sekali pikirku, baru kali ini aku melihat gunung dengan kawah yang besar sambil kujepret sekian puluh gambar Warnoto dan Jul tidak lupa aku pun ingin difoto karena menurutku sangat jarang selama aku mendaki ada kawah seindah ini. Kenapa indah? jika kau berjalan kiri kananmu banyak tebing bebatuan tinggi nan indah bayangkan jika kau berada diatasnya, batu-batu keputihan sampai kekuningan banyak sekali entah batu yang penting indah sekali ditambah langit yang selalu tersenyum warna biru mudanya. Setelah puas berfoto ria aku mulai berpikir pantas saja banyak orang berkali-kali mendaki Gunung Papandayan ini selain indahnya pemandangan jaraknya pun untuk nge-camp terhitung dekat benar-benar Tuhan begitu baik pikirku. Dari jauh aku lihat kawah yang mengeluarkan asapnya dengan awan yang bergerak mataku merekam begitu cepat, kulihat Warnoto begitu tertarik melihat batu-batuan disana dan sesekali berkata "ini kayaknya bisa diteliti" kupandang Jul ia pun begitu tertarik memoret dengan ponselnya sambil sesekali ber-selfie ria ala anak jaman sekarang. Satu-satunya yang kupikirkan selain menikmati keindahan alam Gunung Papandayan ini aku ingin sekali berada di atas awan sebagaimana kulihat akun Instagram #exploregarut menyuguhi sajian samudra awan di Cikuray tapi kupikir di Papandayan pun pasti ada mengingat Papandayan tingginya 2665 mdpl.
Tak terasa hari mulai sore sekitar jam 4 lebih, kami baru sampai di camp david untuk lapor lagi karena untuk keamanan pendaki dan lain hal. Sambil kulempar beberapa pertanyaan kepada petugas disitu dengan nyeleneh "pak mau nge-camp di Tegal Alun masih jauh nggak?" lalu dengan mata agak melotot wajah sedikit gusar ia melihatku "nggak boleh dek nge-camp disana! uda disini saja atau di Pondok Saladah". Lah aku lantas heran dan karena alasan yang belum jelas mengapa tak diijinkan untuk bermalam di Tegal Alun "pak kenapa nggak boleh nge-camp di Tegal Alun, aman kan disana?" dengan wajah agak kesal menjawab pertanyaanku pun ia menjawab "nggak boleh dek! anginnya gede disana bahaya!, tapi kalau ulin kesana mah boleh aja," oh jadi alasannya angin saja pikirku sambil meremehkan aku beranjak dengan Jul dan Warnoto tidak lupa mengucapkan terima kasih karena telah mengecek surat yang kami dapat di pos 1. Sambil aku menggerutu kepada mereka sepertinya kita harus menginap di Tegal Alun semakin penasaran buatku apalagi jika sudah dilarang hehe.. Sambil kaki kami menginjak tanah menuju Pondok Salada sekali lagi kami dibuat takjub dengan angle berbeda sebelah kiri terlihat sangat cantik sekali Gunung Cikuray seolah-olah memiliki kekuatan batin dengan Gunung Papandayan. Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan kami tiba di Pondok Saladah dan luar biasa memang seperti kota kecil di sebuah gunung dengan tenda-tenda berwarna-warni ditambah para pendaki yang hilir mudik seolah-olah sedang meng-explore keindahan gunung ini. Perlu diketahui Pondok Saladah adalah salah satu tempat aman untuk menginap karena tersedianya air bersih yang bocor dari pipa-pipa yang dialirkan dari mata airnya langsung dan kita para pendaki boleh mengambil secara bebas untuk keperluan memasak atau minum ditambah lagi terdapat WC umum dan warung-warung makanan semakin memperjelas bahwa tempat ini adalah tempat yang aman untuk menginap.
Akhirnya kami bertiga berjalan sambil sekali-kali menceburkan wajah kami yang kotor akibat keringat barusan mendaki dengan air yang sangat segar, lalu terlintas dibenakku sepertinya kami akan menginap disini saja agak dekat dengan pipa-pia yang bocor akibat entah ulah siapa. Lantas kukatakan kepada Jul "Nak sudahlah kita menginap disini saja, takut di Tegal Alun nggak mata air" dengan tak sedikit pun menolehku ia menjawabnya "udalah nak ke Tegal Alun saja, disini pemandangannya kurang jelas kurasa, tanya Warnoto". Akhirnya kami berjalan namun tiba-tiba di depan ada beberapa pendaki baru saja turun sepertinya, akhirnya karena penasaran kutanyakan kepada mereka "mas dari Tegal Alun? masih jauh nggak mas? ada air ga disana?" Lalu dijawabnya dengan senyum "lumayan mas dari sini sekitar 2 jam lagi ke Tegal Alun, kalau air disana nggak ada mas mending disini nge-campnya, sontak akhirnya Jul mulai reda dan bersedia bermalam di Pondok Saladah tapi kami bermalam bukan ditempat biasa tenda dipasang sekitar 20 meter ke depan dekat pipa-pipa airlah kami memasang tenda. Hari mulai terasa agak dingin tapi tetap dengan cuaca yang cerah kami segera membuka tenda kami dan ternyata aaaaaahkkkhh patok-patok untuk memasang tenda tidak terbawa, sial pikirku mana golok tadi disita jadi agak sulit untuk memotong kayu. Untung saja kami lantas tidak menyerah, akhirnya kami mencari kayu dengan ukuran tertentu dan memotongnya dengan pisau kecil milik temanku, setelah beberapa saat tenda pun bisa dibangun dan kami mulai dengan memasak makanan dan air karena perjalanan cukup melelahkan ditambah udara dingin semakin membuat perut kami berirama lapar. Waktu menunjukkan pudul 18.00 buluk kuduk mulai berdiri, angin berhembus sesukanya, sambil kami teguk kopi hangat dan bercerita basa basi, ah pikirku tak melihat sunset karena pemandangan yang tak cukup bagus, padahal langit saat itu berwarna merah tua tidak terlalu pekat. Kami pikir tempat yang indah untuk melihat sunset adalah Tegal Alun dan kurang memungkinkan, perlu diketahui karena kurangnya informasi kami tidak tahu bahwa untuk melihat sunset tempatnya berada di sekitaran Camp David karena menurut penjaga pos setemoat tempat tersebut adalah tempat favorit sekaligus tempat yang pas melihat keindahan sunset di Gunung Papandayan.
Keesokan paginya kami kembali tidak bangun pagi, angin yang berhembus kencang menusuk tulang membuat kami berhela-hela di dalam tenda sambil terjaga sesekali, sekitar pukul 6 kami keluar dari tenda dan langsung menghidupkan kompor portable kami untuk memasak air panas, segelas kopi kurasa cukup menghangatkan tubuh ini sambil menunggu aku pun memotret sesekali aktivitas sekitar Pondok Saladah ada beberapa pendaki yang datang ke genangan air sekitar pondok untuk mencuci muka dan mengambil air, ahhh.. sekali lagi pikirku benar-benar luar biasa alam ini tersedia semuanya serasa mendapatkan fasilitas hotel bintang lima saja namun bedanya hanya tempat tidurnya saja. Jam terus berputar ke arah kanan kulihat tanganku mulai beku oleh angin pagi tapi sambil memanaskan aku berlari-lari sekitar tempat camp agar badan ini tidak terlalu kaku. Setelah badan terasa hangat ditambah segelas kopi kami bersiap untuk menuju Tegal Alun yaapppss, pastilah tempat ini tidak boleh dilewatkan selain dikenal dengan savana edelwiesnya tempat ini favorit pendaki untuk berfoto selain menikmati alam yang tidak biasa ditemukan sekitar kota. Kami bertiga berjalan sambil menyiapkan kamera dan handphone yang sudah di-charge kemarin malam, sambil aku lempar pertanyaan "bagus mana ya kira-kira sama Surya Kencana?" Jul pun menjawab dengan santai "gatau euy".. ahhh.. rasanya tak sabar ingin segera sampai karena perjalanan agak curam melewati batu-batuan dan menanjak tapi nafas ini terus saja menolak berhenti seolah-olah akan ada hadiah disana, sambil dari kejauhan kulihat Hutan Mati ditambah udara pagi yang segar dan juga pemandagan luar biasa aku terus menanjak bersama Warnoto dan Julkifli.
Satu setengah jam perjalanan kami ternyata benar saja hamparan edelwies di mana-mana sambil di naungi oleh bukit-bukit sekitar Tegal Alun membuat kami bertiga tersenyum lebar dengan bermacam gaya kami memotret keindahannya namun tentu tidak semuanya keindahan bisa terbawa dalam kamera meskipun memori itu 64 GB class 10, karena memori terbaik adalah di ingatan pikirku di mana sebagai manusia yang masih menghargai dan mencintai alam kita bisa mendaki tanpa harus merusak alam yang kita pijak agar kelak anak kita bisa melihat kembali keindahan yang sama. Terus terang aku sangat keberatan beberapa kali temanku menyebut kami sebagai "pecinta alam", karena menurutku kata "cinta" itu sangat berat maknanya ibarat kita menikahi seorang wanita lalu wanita itu melahirkan anak dan dua-duanya kita jaga kita berikan waktu kepadanya untuk mengungkapkan perasan itu setiap waktu. Terbayangkah kata cinta itu begitu berat? aku lebih suka menyebut diriku sebagai "penumpang alam" yang bisa kapan pun mendaki namun tetap menjaga dan tidak merusak alam hehehe.. Setelah selesai menikmati edelwies kami bergegas turun melewati jalur yang berbeda meskipun belum pernah mengunjunginya tapi kami bisa kembali ke pondok untuk membereskan barang-barang sambil menyantap mie instan ditambah nasi rasanya makanan ini adalah makanan ternikmat yang masuk ke mulutku saat itu. Karena kami belum mengungjungi Hutan Mati rasanya belum ke Papandayan kalau belum difoto di Hutan Mati hehee.., yapsss karena kami tadi hanya melewatinya begitu saja sambil nanti kami bersiap pulang kami menyempatkan untuk Hutan Mati karena jarak tak begitu jauh pikir kami, tenda dan kerir-kerir kami sembunyiin di balik edelwies dekat kami menginap setelah sebelumnnya kami bereskan, kami hanya membawa kamera, hp dan dompet kami pikir sesama pendaki tidak akan mencuri peralatan kami meskipun kalau dijual harganya lumayan. Sambil berjalan tentu kami berdoa semoga barang-barang utuh ketika kami pulang lagi, perjalanan tidak begitu sulit menuju Hutan Mati ini kita hanya perlu menghela nafas sesekali dan taraaaaaa.... kami pun sampai benar-benar indah meskipun siang hari panas terik hanya kami bertiga saja berada di tempat itu, sambil aku ambil beberapa video dan foto tentulah aku tak mau ketinggalan di foto tempat yang familiar tersebut. Sekali lagi dari sini kembali terlihat Gunung Cikuray dan gunung yang jauh entah apa namanya. Setelah puas dan matahari yang terus membakar kulit kami, kami pun bergegas ke pondok untuk mengambil barang-barang kami untuk pulang melalui jalur yang sama tentunya. Karena aku penasaran bagaimana perasaan Jul dan Warnoto maka kutanyalah mereka berdua, "gimana nak nyesal nggak kau kesini?" ia menjawab dengan nada yang mengayun namun tetap dengan logat bataknya yang menjadi ciri khasnya "nggaklah nak" lalu kembali kutanya Warnoto "gimana war seru nggak? mana lebih sulit treknya dari Ciremai?" dengan wajah yang ayu dan gigi yang kontras dengan kulitnya ia jawab "mmm.. nggaklah yer rame kok, tapi disini anginnya cuma kenceng aja" sambil kubalas dengan senyum "hahahah mungkin musimnya beda" yaappss dengan kaki yang terus berjalan kami sampai di pondok dengan aman tanpa ada barang yang hilang dan bersiap pulang, di pos 2 sebelum kembali tentu harus lapor kembali guna keamaan dan kenyamanan pendaki tentunya, rasanya senang sekali pikirku akhirnya bisa kesampaian juga ke tempat ini di saat teman-temanku lebih dulu kesini. Sekitar pukul 1 kami sampai di bawah dan pulang menggunakan ojek yang sudah menanti kami :) ..
Kesimpulannya adalah mendaki adalah sesuatu yang mengasikkan, selain disuguhi alam yang indah, biaya relatif murah dibanding keluar negeri, mengenal jauh karakter teman kita, dan tentu pengalaman bertambah, oleh sebab itu untuk yang membutuhkan adrenalin lebih selain kebut-kebutan di jalan raya atau yang bosan mengunjungi tempat keramaian kota seperti mall maka mendaki adalah solusinya jauh dari rumah sekaligus melatih kesabaran juga karakter diri kita hidup di alam tentu menjadi nilai lebih atau yang merasa bosan dan ingin sekali menghilangkan kepenatan sesekali boleh mendaki bersama keluarga, pasangan atau teman, saya hanya bisa memaparkan sedikit mungkin nilai plus lainnya bisa dirasakan oleh pembaca sendiri.
Terima kasih telah membaca