Taktik ini juga dikenal sebagai "buy on dip", membeli saat terjadi koreksi signifikan.
Apalagi mengingat strategi "buy on dip" pada masa bullish 2003-2007 ( beberapa koreksi signifikan pada periode ini adalah [besaran koreksi]: April-Juni 2004 [18%], Maret-April 2005 [12%], Agustus-September 2005 [17%], May-Juni 2006 [20%], dan Juli-Agustus 2007 [20%]) memang berhasil memberikan keuntungan luar biasa kepada investor. Bahkan koreksi besar pada tahun 2008 (Januari-Oktober 2008 [61%]) saat ini dapat dilihat sebagai "buy on dip" dalam skala ekstrim yang juga sangat berhasil. Periode 2009 -2010 juga banyak memberikan peluang "buy on dip" seperti Juni 2009 (koreksi 9%) dan Mei 2010 (koreksi 15%).
Logika "buy on dip" cukup sederhana: koreksi harga telah membuat valuasi saham menjadi murah sehingga menurunkan resiko dan meningkatkan potensi return.
Tapi perlu hati-hati dalam menilai setiap koreksi harga bisa membuat valuasi menjadi murah. Bisa saja sebenarnya harga saham telah mengalami rally yang sangat luar biasa dan jauh melebihi perkembangan fundamental perusahaan pada periode sebelumnya. Sehingga koreksi harga hanya menjadi 'penyesuaian' terhadap kondisi fundamental saham dan secara valuasi historis harga saham tetap mahal.
Sebagai contoh diambil saham Astra Internasional (ASII). Valuasi secara sederhana menggunakan Price Earning Ratio (PER), yaitu dari rasio harga (Price) terhadap Laba Per Saham (Earning Per Share).
Pada akhir tahun 2005, ASII memiliki harga 10,200 dengan EPS = Rp 1,348, atau PER sekitar 7.6X. Suatu valuasi yang sangat menarik, mengingat ASII adalah perusahaan yang sangat bagus.
Pada akhir tahun 2010, ASII memiliki harga 54,450 dengan EPS (perkiraan) = Rp 3,236, atau PER sekitar 16.8X.
Artinya dalam periode 2006-2010, fundamental ASII naik 2.4 kali (EPS2010/EPS2055, 3236/1348), sedangkan harganya naik 5.3 kali (54450/10200). Jelas pada periode itu harga naik lebih cepat daripada fundamental.
Ini tidak berarti harga ASII sudah pasti kemahalan. Bisa saja harga akhir 2005 yang kemurahan. Tapi titik 2005 tetap bisa menjadi titik ideal pembanding dengan alasan: 2005 kinerja IHSG tidak luar biasa (naik 16%) dan harga ASII juga hanya naik 6%. Tahun 2005 juga dalam masa pemulihan dan trend bullish, 2003-2007 sehingga optimism investor belum berlebihan.
Sepanjang 2006-2010, PER saham ASII berkisar antara 6X - 18X, dan pada saat ini sekitar 14X (harga di 47150).
Bila dianggap kenaikan harga 2006-2010 lebih cepat daripada pertumbuhan kinerja, maka penyesuaian dapat terjadi dengan cara:
1. EPS naik, atau...
2. Harga turun.
Bila dianggap EPS naik 20% ditahun 2011 (skenario rata2 pertumbuhan 2005-2010), maka EPS akhir tahun menjadi sekitar 3900. Asumsi PER sekitar 14X maka harga akhir tahun menjadi sekitar 54000.
Tapi akibat psikologis investor yang cepat berubah, bisa optimis/pesimis berlebihan, maka biasanya lebih mudah harga yang berubah, sedangkan EPS relatif jauh lebih stabil.
Untuk skenario bubble, ASII PER-nya katakanlah mencapai 30X, alias harga ke sekitar 115,000. Bila yang berlaku kondisi "mean reversal" dan optimisme memudar, harga ke PER 10X alias harga ke 39,000.
Karena itu, investor yang akan melakukan 'buy on dip' sebaiknya tetap memperhatikan kinerja perusahaan (bukan sekedar besaran koreksi pasar). Perlu juga dirasakan kondisi psikologis investor: netral, pesimis, atau masih sangat optimis??
Mengingat investor ritel saham biasanya sangat bullish di puncak, maka setiap koreksi lebih dari 5% biasanya direspon dengan cepat. Karena itu koreksi bisa diikuti dengan pemulihan yang luar biasa. Sebaliknya, investor besar/institusional secara hati-hati akan memanfaatkan pemulihan untuk mengurangi posisi saham. Terjadi lah kegagalan pemulihan untuk mencapai titik tinggi baru (fail rally).
Dan melihat koreksi pasar obligasi yang luar biasa, mecapai 13% (dari total kenaikan 15% dalam periode 4Januari-14 Oktober 2010 . Indeks Harga Obligasi HSBC per 21 Januari adalah 158.3, sama seperti pada akhir Februari 2010), maka perjuangan di pasar saham masih sangat berat. Investor saham sepertinya masih sangat optimis.
Hanya pada saat valuasi sudah relatif murah (PER dibawah rata2 jangka panjang, sekitar 12X) dan optimisme minim, baru lah "buy on dip" menjadi strategi yang memiliki resiko rendah dan potensi return tinggi (low risk, high return).