luruh di dalam kabut yang menyelimuti lereng bukit.
Hanya kabut sejauh mata memandang
dan pucuk-pucuk pinus yang mengintip sesekali.
Matahari belum juga mampir.
Sepertinya pagi ini dia sengaja membiarkan penghuni desa
melesapkan mimpi sekuat-kuatnya
meresapi dingin sepuas-puasnya
dan menyesap kopi hitam senikmat-nikmatnya.
Ya,
sudah ada suara canda bocah-bocah
lenguh kerbau yang ditarik petani
dan tumbukan lesung dari balik dinding-dinding dapur.
Tapi tirai-tirai kabut yang masih betah menggantung di udara
membuat suasana pagi lebih seperti mimpi daripada realita.
Asap di atas cangkir kopi
luruh di dalam kabut yang semakin pekat.
Kopi hitam dalam cangkir yang tersisa
telah kehilangan panasnya bermenit-menit yang lalu
tapi
aroma kopi masih tercium meliuk-liuk di udara.
Ah,
sebuah teko yang masih mengepul diletakkan di sampingku.
Dari sini rupanya asal aroma harum arabika itu.
Ibu Mertua pun mempersilakan aku menambah kopi.
"Kalau cuaca begini, kopi lebih cepat dingin," ucapnya
lalu beranjak kembali ke dapur.
Kabut dan kopi
yang mengisi bait-bait intuisi
mari ucapkan salam pada jam-jam libur yang hampir usai.