hingga pada ujung doa kita terlupa mengamininya
dengan ikhtiar paling anyar yang mampu diberikan semesta.
Lalu kita mulai menyalahkan gelas kopi yang terlambat
baterai arloji
anak-anak
suara klakson
karbonmonoksida
angin laut
karyawan
atasan
kolega
bahkan Tuhan ...
Kita lupa menyalahkan diri sendiri
sebagai awal dan muara sebuah eksistensi
hanya karena enggan melompat lebih tinggi.
Kita terlalu jatuh cinta pada ikhtiar yang sudah-sudah
padahal kita tahu semesta terus berubah.