Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Tanah Air Kredit

26 Januari 2014   08:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 435 17

Sore itu, perhatian saya teralih oleh banner gede bertajuk undian berhadiah menarik seperti mobil, motor, TV, gadget dan perkakas elektronik lain yang terpampang di depan kantor sebuah perusahaan pembiayaan. Sebuah iklan yang multifungsi.  Mengumumkan event perusahaan tersebut, memancing minat masyarakat untuk mengambil kredit di situ, sekaligus sebuah pencitraan untuk menunjukkan perusahaan tersebut cukup bonafide karena mampu menyediakan hadiah-hadiah mentereng.

Akhir-akhir ini, lembaga-lembaga pembiayaan yang menawarkan fasilitas kredit instan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Counter-nya semakin mudah kita temui, baik di jalan-jalan protokol maupun  jalan kecil di sekitar kompleks perumahan kita. Tak puas hanya standy by dengan pasif di kantor, mereka juga sudah piawai jemput bola dengan hadir di pusat-pusat perbelanjaan kita.

Kehadiran lembaga-lembaga pembiayaan tersebut bersimbiosis dengan perkembangan gaya hidup  masyarakat. Desiran angin era pemasaran global sudah lebih dulu sampai ke negara kita. Perusahaan-perusahaan domestik dan multinasional paham betul potensi pasar Indonesia. Sehingga lihat saja, rentetan commercial break yang tumpah dari layar kaca hampir membuat kita muntah. Saya sampai kadang merasa, kalau dihitung-hitung durasi iklan bisa-bisa lebih panjang dari durasi programnya. Imbasnya, masyarakat kita pun pasrah menerima gempuran produk lokal maupun impor. Miskin-miskin begini, indeks kepercayaan diri konsumen Indonesia ternyata berada pada posisi top di kawasan Asia Pasifik.

Salah satu faktor pendorong terjadinya statistik ajaib itu adalah pertumbuhan masyarat kelas menengah (middle class) yang cukup pesat. Fenomena ini dipotret oleh bank dunia tiga tahun lalu melalui laporannya, Global Development Horizons 2011 Multipolarity: The New Global Economy. Pada jurnal tersebut bank dunia menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari 6 negara yang diprediksi menopang pertumbuhan ekonomi global sampai tahun 2025.

Sayangnya pertumbuhan ekonomi ini tidak diimbangi dengan pendidikan keuangan yang memadai bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat jadi cenderung konsumtif atau bisa lebih parah, bermental instan. Indikatornya bisa langsung terlihat dari masalah-masalah keuangan yang seringkali dihadapi masyarakat. Lihat orang-orang di sekitar anda, apakah ada di antara mereka yang selalu prioritasnya kacau antara memenuhi kebutuhan atau keinginan dulu? Apakah ada rekan anda yang memiliki lebih dari satu kartu kredit dan kesulitan membayar tagihan-tagihannya? Apakah ada di antara mereka yang mendewakan prinsip “pakai dulu bayar kemudian”? Itulah ciri-ciri masyarakat kita yang konsumtif.

Kecenderungan masyarakat inilah inilah yang membuat lembaga penyedia kredit instan muncul dimana-mana. Tidak butuh administrasi macam-macam dan tidak butuh analisa capability to pay yang ribet. Sistem perkreditannya pun sudah diinovasi sedemikian rupa untuk beradaptasi dengan gaya hidup masyarakat.

Dulu emak-emak punya langganan abang tukang kredit panci yang berjalan door to door di bawah panas matahari berbekal buku agenda lusuh untuk mencatat semua pembayaran emak-emak pelanggannya. Panci yang dikreditkan pun kualitasnya ala kadarnya. Baru tiga bulan dipakai sudah bocor. Kini abang tukang kredit berubah jadi mbak-mbak manis yang nangkring di dalam toko pecah belah besar yang sejuk. Disana emak-emak leluasa memilih panci-panci lux tapi punya kualitas bagus. Agenda yang lusuh pun sudah berganti menjadi database canggih.

Dulu, kredit dibuat untuk meringankan pembayaran produk yang harganya memang selangit, seperti properti atau kendaraan. Kini, produk-produk yang bisa diperoleh secara kredit pun semakin beragam. Mulai dari gadget terbaru, perabot rumah tangga sampai isi lemari pakaian kita.

Akhir-akhir ini juga banyak perusahaan pembiayaan yang telah menempatkan Character kreditur pada urutan kesekian dari analisis kreditnya. Yang penting ada jaminan yang likuid, proses kredit pun jadi semakin mudah.

Kemudahan-kemudahan inilah yang membuat masyarakat kita semakin akrab dengan lembaga pembiayaan penyedia kredit. Sayang belum ada survei yang membuktikan, tapi saya yakin sebagian besar masyarakat kita terutama yang berdomisili di perkotaan sedang memiliki kredit saat ini. Mulai dari kredit properti, kendaraan, peralatan elektronik, perabot rumah tangga dan produk kredit lainnya. Mari kita cek inventaris pribadi maupun inventaris yang ada di rumah kita. Berapa banyak yang dibeli secara tunai dan kredit? Bisa jadi perangkat yang anda gunakan untuk membaca tulisan ini juga hasil kredit.

Jika anda merasa tidak memiliki kredit saat ini, anda boleh bersyukur. Sebagai pribadi bebas kenyataan anda bebas dari pinjaman itu benar adanya. Tapi sebagai seorang warganegara, ternyata kita hidup di negeri yang juga tidak bisa jauh-jauh dari pinjaman. Sampai bulan November tahun lalu, utang pemerintah kita telah mencapai Rp 2.354,54 T.  Angka itu seluruhnya memang jadi kewajiban pemerintah kita. Tapi mari berandai-andai jika biaya tersebut dibebankan secara rata kepada seluruh penduduk Indonesia. Katakanlah jumlah penduduk 250 juta orang, maka setiap dari kita (termasuk bocah yang baru belajar bicara) harus menanggung utang sebesar Rp 9.4 juta per orang. Misalnya satu keluarga pemulung terdiri dari suami istri dan tiga orang anak, maka keluarga tersebut harus menanggung utang sebesar Rp 47 juta. Ini sekedar hitung-hitungan iseng saja.

Jadi apakah kredit itu dosa? Tentu saja tidak, selama kita masih bisa mengendalikan kredit tersebut sehingga tidak menggerogoti hidup kita. Tidak bisa dipungkiri, kredit juga berguna untuk mengangkat daya beli kita saat ini kendati kita harus membayarnya “biaya”nya hari esok. Dengan memanfaatkan kredit untuk tujuan produktif atau untuk memenuhi kebutuhan yang membuat hidup kita lebih baik, kredit tidak akan menjadi masalah. Yang penting kita masih bisa mengalokasikan pendapatan untuk membayar kewajiban-kewajibannya kemudian.

Tapi kredit berbalik menjadi belati bermata dua jika kita tidak mampu menganalisa keuangan keluarga khususnya pos pendapatan dan biaya dengan baik. Doyan kredit tanpa diimbangi analisa yang benar bisa membuat kita kelabakan di kemudian hari. Hampir seluruh pendapatan bisa terkuras untuk membayar angsuran plus bunga kredit yang dibebankan. “Penyakit” yang muncul jika kejadian itu sudah menimpa kita adalah kita cenderung membayar kredit dengan pembayaran paling minimal. Terutama pada sistem pembayaran pinjaman kartu kredit.  Padahal kebiasaan itu hanya akan membuat kita semakin sulit keluar dari belitan kredit. Bisa-bisa baju yang dibeli hari ini tidak kunjung lunas juga lima tahun kemudian. Padahal lima tahun kemudian baju itu mungkin sudah tidak layak pakai lagi. Itu kalau kreditnya dibayar, kalau sudah benar-benar tak sanggup dibayar lagi, maka bersiap-siaplah melepas aset yang dijaminkan, berhadapan dengan kolektor-kolektor jutek, atau malah berhadapan dengan pengadilan.

Di satu sisi, kredit itu mainan berbahaya, tapi di sisi lain kredit juga membawa manfaat. Bahkan dari perspektif bisnis, tidak salah jika saya mengatakan kredit-lah yang membuat dunia ini berputar. Jadi bijaksana sebelum memutuskan pengajuan kredit itu kuncinya karena begitu menandatangani akad kredit, kita sedang mempertaruhkan masa depan keuangan kita.  (PG)

Baca juga:

Mengapa Utang Tidak  Pernah Habis

Bijaksana Mengelola Kredit

Referensi:

Utang Pemerintah 2.354 triliun

Kelas Menengah Indonesia

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun