Manager External Relations PT GKP, Made Fitriansyah menjelaskan, perusahaan dengan sangat terbuka menyediakan ruang untuk berbicara kepada semua pihak tanpa terkecuali. Dirinyamemahami pentingnya sosialisasi mengenai landasan hukum yang melegitimasi seluruh aktivitas pertambangan PT GKP di Pulau Wawonii, menyadari masih banyaknya misinterpretasi dan kesalahpahaman yang terjadi.
"Saat ini, PT GKP telah memiliki perizinan lengkap dan aktif berdasarkan ketentuan di bidang pertambangan. Termasuk ada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), izin lingkungan (termasuk AMDAL), hingga perizinan lain sebagai pendukung kegiatan produksi. Seluruh perizinan ini tentu telah melewati verifikasi dan persetujuan berjenjang dari level daerah hingga nasional oleh Kementerian/Lembaga yang terkait. Sehingga, jelas PT GKP beroperasi secara sah dan legal secara hukum," tegas Made.
Lebih lanjut, Made juga mencoba meluruskan isu seputar IPPKH yang dianggap telah kadaluarsa. Dirinya menegaskan bahwa keputusan PT GKP saat ini untuk kembali beroperasi diambil setelah Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mengabulkan dan memenangkan banding yang dilakukan PT GKP atas keputusan sidang PTUN terkait IPPKH. Sekaligus, putusan PTUN pada Januari 2024 ini berarti telah membatalkan seluruhnya hasil sidang PTUN pada September 2023. Di samping soal IPPKH, PT GKP juga telah memenangkan tahapan sidang banding di PTUN Makassar dan sidang kasasi di MA terkait IUP.
"Seperti yang telah diketahui, memang benar hasil banding dan hasil kasasi gugatan terhadap IPPKH dan IUP PT GKP telah memenangkan pihak perusahaan. Keputusan ini sekaligus menjadi legitimasi, bahwa izin operasi tambang ini sah dan legal menurut aturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga,sekarang operasi produksi perusahaan tentu berjalan sebagaimana mestinya," tegasnya.
MK Izinkan Pertambangan Berjalan Asal Penuhi Persyaratan Sementara itu, keraguan legalitas PT GKP tidak berhenti pada urusan IPPKH, tetapi juga terkait putusan MK tentang interpretasi aturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Muncul asumsi bahwa putusan MK sepenuhnya melarang dilakukannya pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terpisah, Kuasa Hukum PT GKP, Jhonatan Emanuel memastikan bahwa asumsi tersebut tidak benar.
Dirinya menjelaskan, bahwa sudah jelas tertulis pada pertimbangan hukum Majelis Hakim MK bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil diperbolehkan selama memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Terjadi misinterpretasi di ruang publik, karena sebenarnya yang ditolak adalah permohonan uji materiil atas interpretasi UU PWP3K. Namun, dari keseluruhan pertimbangan Majelis Hakim MK, sudah jelas bahwa MK sepakat menilai kegiatan pertambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu diperbolehkan selama memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 k UU PWP3K," jelas
Jhonatan meluruskan soal hasil putusan MK. Merujuk pada salinan pertimbangan hukum Majelis Hakim MK, disampaikan bahwa adanya rumusan
"yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya" dalam norma Pasal 35 huruf k UU 27/2007 tersebut merupakan suatu bentuk kondisi yang harus dipenuhi untuk menjadikan kegiatan penambangan mineral menjadi kegiatan yang dilarang.
"Artinya, jika kondisi dimaksud tidak terpenuhi maka kegiatan penambangan mineral tersebut bukanlah merupakan kegiatan penambangan mineral yang dilarang berdasarkan Pasal 35 huruf k UU 27/2007," tulis pertimbangan Majelis Hakim MK. Selain itu, dalam pertimbangan tersebut, dijelaskan juga terkait salah satu esensi dari Pasal 23 UU 1/2014 adalah "Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang "diprioritaskan" untuk kepentingan...".
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "diprioritaskan" dimaksud mengandung arti "diutamakan atau didahulukan dari yang lain". Berdasarkan pengertian tersebut, maka kepentingan lain di luar prioritas masih dimungkinkan untuk dilakukan sepanjang tidak mengancam kelestarian lingkungan.
"Sebab, kepentingan (di luar prioritas) tersebut wajib memenuhi persyaratan secara kumulatif yaitu, memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memerhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan," lanjut pertimbangan Hakim MK dalam salinan putusan sidang perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 lalu.
Oleh karena itu, aktivitas operasi PT GKP telah sepenuhnya memenuhi persyaratan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.